This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Laman

Jumat, 19 Oktober 2012

Kodifikasi Hukum dan Hasil Kodifikasi Hukum Islam Indonesia


A.      Kodifikasi Hukum Islam Indonesia
Gagasan untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia untuk pertama kali diumumkan oleh Menteri Agama Munawir Sadzali, pada bulan febuari 1985 dalam ceramahnya didepan para Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya, semenjak itu ide ini mengelinding dan mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Munculnya gagasan ini merupakan hasil kompromi antara pihak Mahkamah Agung dengan Departemen Agama, langkah untuk mewujudkan kegiatan ini mendapat dukungan banyak pihak. Bahkan menurut Prof Ismail Suny pada bulan maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehingga terbitlah SKB (Surat Keputusan Bersama) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam.melalui Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No 07/KMA/1985 dan No 25 Tahun 1985 tentang penunjukan Pelaksana Proyek pembangunan Hukum islam berlangsung selama 2 tahun, pelaksana proyek ini kemudian didukung oleh Keputusan Presiden No 191/1985 tanggal 10 Desember 1985 dengan biaya sebesar Rp 230.000.000,00 biaya sebesar ini tidak berasal dari APBN tetapi langsung dari Presiden Soeharto sendiri. Menurut SKB tersebut ditetapkan bahwa pimpinan umum dari proyek tersebut adalah Prof H Bustanul Arifin SH. Dengan dibantu oleh dua orang wakil pimpinan umum masing-masing HR DJoko Soegianto dan H Zaini Dahlan dan yang lainya akan dijelaskan lebih lanjut.
Menurut Lampiran surat keputusan Pimpinan pelaksana proyek tanggal 21 maret 1985  ditentukan bahwa tugas pokok proyek tersebut  adalah untuk melaksanakan usaha Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi dengan jalan Kompilasi Hukum, sasaranya mengkaji kitab-kitab yang dipergunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masayarakat Indonesia untuk menuju hukum Nasional. Sejalan dengan yang dikemukakan diatas maka pelaksanaan kodifikasi dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu :
                             i.          Tahap I   : tahap persiapan
                           ii.          Tahap II : tahap pengumpulan data, melalui :
a)         Jalur ulama:
Dengan cara mewancarai para ulama diseluruh Indonesia, yang sudah ditetapkan di 10 lokasi di Indonesia : Banda aceh, Medan, Palembang, Padang, Jawa tengah, Jawa barat, Jawa timur, Ujung pandang, Mataram dan Banjarmasin.
b)        Jalur kitab-kitab fiqh:
Dengan mengumpulkan kitab-kitab hukum / kitab-kitab fiqh minimal 13 kitab yang selama ini diwajibkan oleh Departemen Agama sebagai pedoman para hakim agama
c)         Jalur yurisprudensi peradilan agama:
Dihimpun putusan-putusan peradilan Agama sejak dahulu melalui arsip Pengadilan Agama
d)        Jalur studi perbandingan dinegara-negara  lain khususnya Negara-negara timur tengah (Maroko, Turki dan Mesir) :
Melihat luar negri bagaimana penerapan hukum Islam disana, system peradilan disana, bagaimana proses masuknya syari’ah law, dan sumber hukum yang diberlakukan disana serta sejauh mana kita bisa membandingkan dengan latar belakang budaya Indonesia.
                     iii.          Tahap III :  tahap penyusunan rancangan kompilasi Hukum Islam dari data-data tsb.
                     iv.          Tahap IV : tahap penyempurnaan dengan mengumpulkan masukan-masukan  akhir        dari para ulama /cendekiawan muslim seluruh Indonesia yang ditunjuk melalui lokakarya. Yang dihadiri oleh 124 orang peserta dari seluruh Indonesia.

            Setelah tahapan – tahapan diatas telah selesai dorongan kepada pemerintah untuk segera mengesahkan Kompilasi Hukum Islam semakin kuat, sehubungan dengan ditetapkanya Undang-undang Peradilan Agama No 7 tahun 1989, dan sebelum Presiden Soeharto berangkat  haji tepatnya tanggal 10 juni 1991 beliau menandatangani Instruksi Presiden RI No 1 tahun 1990, sejak saat itu secara formal berlakulah Kompilasi Hukum Islam diseluruh Indonesia sebagai hukum materiil yang dipergunakan di Peradilan Agama. Sebagai tindak lanjutnya pada tanggal 22 juli 1991 Menteri Agama telah mengeluarkan keputusan No 154 tahun 1991 untuk menyebarluaskan Kompilasi ini kepada semua ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama Islam melalui Surat Edaran Direktur pembinaan Badan Peradilan Agama Islam tanggal 25 juli 1991 No. 3694/EV/HK.003/AZ/91. Dengan berbagai landasan hukum dimaksud Kompilasi Hukum Islam ini telah mempunyai tempat yang kokoh dalam sistem Hukum Indonesia.

Berikut akan kami paparkan struktur pengurus pelaksanaan proyek KHI secara singkat:
                            I.     Pimpinan Umum :
Prof H Busthanul Arifin, SH
(Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan MA

                         II.     Wakil Pimpinan Umum :
HR Djoko Soegianto, SH
(Ketua Muda Urusan lingkungan Peradilan Hukum Perdata Tidak Tertulis MA)
H. Zaini Dahlan, MA
(Dirjen Pembinaan Klelembagaan Agama Islam Departemen Agama)

                         III.   Pimpinan Pelaksana :
    H. Masrani Basran, SH
   (Hakim Agung Mahkamah Agung)

                         IV.  Wakil Pimpinan Pelaksana :
                   H, Muchtar Zarkasih, SH
                   (Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama)
                  
                            V.  Sekretaris :
                   Ny. Lies Sugondo, SH
                   (Direktur Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung)
                         VI.  Wakil Sekretaris :
                   Drs. Marfudin Kosasih, SH

                      VII.  Bendahara :
                   Alex Marbun (dari Mahkamah Agung)
                   Drs Kadi (dari Departemen Agama)

                   VIII.  Pelaksana Bidang Kitab / Yurisprudensi :
                   Prof, H Ibrahim Husein LML (dari Majelis Ulama)
                   Prof H, MD Kholid SH
                   (Hakim Agung Mahkamah Agung)
                   Wasit Aulawi
                   (Pejabat Departemen Agama)

            IX. Pelaksana Bidang Wawancara :
                   M. Yahya Harahap, SH
                   (Hakim Agung Mahkamah Agung)
                   Abdul Gani Abdullah, SH
                   (Pejabat Departemen Agama)
                  
            X.  Pelaksana Bidang Pengumpulan Bahan dan Pengolahan Data :
                   H. Amiroedin Noer, SH
                   (Hakim Agung Mahkamah Agung)
                   Drs. Muhaimin Nur, SH (Pejabat Departemen Agama)



B.         Produk Kodifikasi Hukum Islam Indonesia
Dalam perkembangan hukum islam di Indonesia perlu dicatat bahwa hukum islam telah berhasil di kodifikasikan dalam bentuk aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia atau bisa dikatakan bahwa hukum islam telah berhasil memasuki fase tagnin (fase pengundangan). Fase ini dimulai sejak disyahkanya UU perkawinan No 1/1974, karena banyak sekali ketentuan fiqh tentang perkawinan yang telah ditransformasikan kedalam undang-undang. Hingga pada akhirnya lahirlah kompilasi hukum islam yang terdiri atas tiga buku yakni : Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, dan Buku III tentang Perwakafan. Pengelompokan ini hanya sekedar pengelompokan bidang hukum yang dibahas bukan dalam beberapa buku. Dalam kerangka sistematikanya masing-masing buku terbagi dalam beberapa bab dan kemudian untuk bab-bab tertentu terbagi pula atas beberapa bagian yang selanjutnya dirinci dalam pasal-pasal. Secara keseluruhan Kompilsai Hukum Islam terdiri atas 229 pasal dengan distribusi yang berbeda-beda untuk masing-masing buku, porsi yang terbesar adalah pada buku Hukum Perkawinan. Kemudian Hukum Kewarisan dan yang paling sedikit adalah Buku Hukum Perwakafan.
Adapun Mengenai isi dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut :
                                        I.            HUKUM PERKAWINAN
Bab I           : Ketentuan Umum (pasal 1)
Bab II         : Dasar-dasar Perkawinan (pasal 2-10)
Bab III        : Peminangan (pasal 11-13)
Bab IV        : Rukun dan Syarat Perkawinan (pasal 14-29)
Bab V         : Mahar (pasal 30-38)
Bab VI        : Larangan Kawin (pasal 39-44)
Bab VII      : Perjanjian Perkawinan (pasal 45-52)
Bab VIII     : Kawin Hamil (pasal 53-54)
Bab IX        : Beristri Lebih dari Satu Orang (pasal 55-59)
Bab X         : Pencegahan Perkawinan (pasal 60-69)
Bab XI        : Batalnya Perkawinan (pasal 70-76)
Bab XII      : Hak dan Kewajiban Suami Istri (pasal 77-84)
                 Bab XIII     : Harta Kekayaan dalam Perkawinan (pasal 85-97)
                 Bab XIV     : Pemeliharaan Anak (pasal 98-106)
                 Bab XV      : Perwalian (pasal 107-112)
                 Bab XVI     : Putusnya Perkawinan (pasal 149-162)
                 Bab XVII   : Akibat Putusnya Perkawinan (pasal 149-162)
                 Bab XVIII  : Rujuk (pasal 163-169)
                 Bab XIX     : Masa Berkabung (pasal 170)

                                     II.            HUKUM KEWARISAN
                 Bab I           : Ketentuan Umum (pasal 171)
                 Bab II         : Ahli Waris (pasal 172-175)
                 Bab III        : Besarnya Bahagian (pasal 176-191)
                 Bab IV        : Aul dan Rad (pasal 192-193)
                 Bab             V         : Wasiat (pasal 194-209)
                 Bab VI        : Hibah

                                  III.            HUKUM PERWAKAFAN
                 Bab I           : Ketentuan Umum (pasal 215)
                 Bab II         : Fungsi, Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf (pasal 216-222)
                 Bab III        : Tatacara Perwakafan dan Pendaftaran Benda (pasal 223-224)
                 Bab IV        : Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf (pasal 225-227)
                 Bab V         : Ketentuan Peralihan (pasal 228)

Pengertian dan Latar Belakang Kodifikasi hukum Islam di Indonesia


A.         Makna Kodifikasi
Dalam Bahasa Latin, code atau codex berarti “a systematically arranged and comprehensive collection of law. yang berarti himpunan peraturan hukum secara lengkap yang disusun secara sistimatik. Maka kodifikasi (codification, codificatie,) berarti perbuatan atau pekerjaan mengkodifikasikan atau menghimpun hukum atau peraturan ke dalam suatu kitab hukum secara sistematik (to systematize and arrange (laws and regulations) into a code).
Fockema Andreas mengartikan bahwa codificatie adalah: “Het samensellen en invoeren van systimatisch ingerichte wetboeken (codices) voor rechtsgebieden van enige omvang. (menyusun dan membawa masuk secara teratur dan sistimatik ke dalam kitab undang-undang dalam bidang hukum dengan ruang lingkup yang luas).
M.J. Koenen dan J.B. Drewes mengartikan codificatie sebagai vereniging van verschillende voorschriften tot een wet; het opstellen van een wetboek (menyatukan berbagai peraturan ke dalam suatu undang-undang; menyusun kitab undang-undang).
Henry Campbell Black mengartikan bahwa:codification adalah the process of collecting aand arranging systematically, usually by subject, the laws of a state or country, or the rules and regulations covering a particular area or subject of law or practice.... The product may be called a code, revised code or revised statute (proses mengumpulkan dan menyusun secara sistematik hukum-hukum negara atau peraturan dan regulasi yang mencakup bidang tertentu atau subyek (isi) hukum atau praktik, yang  biasanya menurut subyek (isi)nya.
Dari berbagai kutipan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kodifikasi adalah proses menghimpun dan menyusun secara sistimatik berbagai hukum, regulasi atau peraturan di bidang tertentu yang ditetapkan oleh negara. Produk dari kegiatan kodifikasi dapat berupa kitab undang-undang (wet, code) atau buku hukum yang disebut dengan Kompilasi. Dan menurut perspektif hukum islam, kompilasi diartikan sebagai rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun kedalam satu himpunan. Himpunan tersebut inilah yang dinamakan kompilasi.

B.          Latar Belakang Kodifikasi hukum Islam di Indonesia
Ketika Indonesia belum memiliki hukum positif yang dirumuskan sebagai landasan rujukan mutlak pengadilan Agama  terhadap suatu masalah, dalam prakteknya Indonesia sebelumnya menggunakan kitab para ulama sebagai rujukannya, hal ini tertuang pada surat edaran Biro peradilan Agama No. B/1/735 tanggal Februari 1958 yang merupakan tindak lanjut dari peraturan pemerintah no. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syari’iyah . dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan suatu kesatuan  hukum  yang memeriksa dan memutus perkara maka para hakim Pengadilan Agama  dianjurkan agar mempergunakan pedoman kitab-kitab diantaranya adalah Al Bajuri, tuhfah, targhibul musytaq, syamsuri lil faraidl, mughnil muhtaj. Namun pada realitanya menggunakan kitab-kitab sebagai dasar keputusan peradilan agama menurut Bustanul Arifin akan membuka peluang bagi terjadinya pembangkangan atau keluhan , ketika pihak yang kalah perkara mempertanyakan pemakaian kitab /pendapat yang memang tidak menguntungkanya itu, seraya menunjuk  kitab/pendapat yang menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahkan sering terjadi para hakim berselisih sesama mereka tentang pemilihan kitab rujukan.
Sedangkan menurut Yahya Harahap dalam makalahnya yang disajikan pada Diskusi Ilmiah Forum Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 juni 1986 dan baru dipublikasikan tahun 1988 menyatakan bahwa “ putusan Pengadilan harus berdasarkan hukum, orang tidak boleh diadili berdasarkan buku atau pendapat ahli atau ulama manapun”. Dan ia memberikan penilaian bahwa praktik penerapan hukum yang semata-mata berdasarkan penemuan dan pengambilan hukum dari sumber kitab-kitab, benar-benar tidak bisa dipertahankan. Praktek sperti ini menurutnya mengarah kepada penegakan hukum menurut selera dan persepsi hakim. Dari penjelasan diatas bisa kita tarik kesimpulan bahwa menggunakan kitab-kitab para ulama sebagai dasar keputusan peradilan masih memiliki beberapa kelemahan.


Alasan lain yang melatar belakangi kodifikasi hukum islam di Indonesia menurut Hasan Basri adalah sering adanya keputusan peradilan Agama yang saling berbeda / tidak seragam padahal kasusnya sama. Bahkan dapat dijadikan alat politik untuk memukul orang lain yang dianggap tidak sepaham . dan menurutnya ini mengindikasikan bahwa masalah fiqh yang semestinya membawa rahmat malah menjadi sebab perpecahan. Dengan demikian yang kita rasakan bukan rahmat akan tetapi laknat, hal ini menurut pendapatnya adalah karena umat islam salah paham dalam mendudukkan fiqh disamping belum adanya kompilasi hukum islam tersebut.

Sedangkan menurut Masrani Basran pada muktamar Muhammadiyah disolo tanggal 9 Desember 1985 mengemukakan beberapa hal yang melatar belakangi diadakanya kodifikasi hukum islam ini adalah sebagai berikut :
·         Ketidak jelasan persepsi tentang syari’ah dan fiqh. Dapat dikatakan pula sebagai “kekacauan Persepsi” tentang arti dan ruang lingkup pengertian syari’ah Islam, kadang-kadang disamakan syari’ah Islam dengan Fiqh, bahkan adakalanya dalam penetapan persepsi dianggap sama pula dengan al’din.
·         Ketidak seragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum islam
·         Ketidak jelasan bagaimana melaksanakan syari’ah
Semua alasan - alasan yang dikemukakan diatas, ini lebih mengacu kepada kekhawatiran para hakim agung dan ketua MUI Hasan Basri pada masa itu, bahwa jika tidak adanya wujud hukum islam secara konkrit dan positif di Negara kita ini. dikhawatirkan akan terjadi kesimpangsiuran putusan masalah-masalah hukum islam di Idonesia, .maka dari itu perlu adanya kodifikasi hukum islam yang seragam yang dapat dijadikan pedoman dan hukum positif di Indonesia. Yang harus ditaati oleh warga Negara Indonesia yang beragama Islam

LEMBAGA-LEMBAGA HUKUM DI INDOSESIA


LEMBAGA-LEMBAGA HUKUM ISLAM DI INDONESIA
1.      MAJELIS ULAMA INDONESIA ( MUI )
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/4/43/Indon.gif
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu,NU,Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al-Washliyyah, mathla’ul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI, Al-Ittihadiyyah,  4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan laut dan Polri serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
1. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT.
2. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah).
4. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Majelis Ulama Indonesia sampai saat ini telah melakukan beberapa kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan KH. M. Sahal Mahfudz. Ketiga pemimpin MUI pertama telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya.Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.Saat ini ketua MUI dipegang oleh KH.M.Sahal Mahfudz.
Sebagai Lembaga hukum Islam, MUI mempunyai lima fungsi dan peran utama yaitu :
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti).
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah).
4. Sebagai gerakan Ishlah wa al tajdid
5. Sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar.
HUBUNGAN MUI DENGAN PIHAK LUAR
Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian  kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi. Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam.
Majelis Ulama Indonesia, sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam. Namun perlu ditegaskna bahwa kemandirian tidak berarti menghalangi Majelis Ulama Indonesia untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia. Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa dirinya hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam dimana dirinya menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidupberdampingan dan bekerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa.Sikap Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (Rahmat bagi Seluruh Alam).



PEDOMAN FATWA MUI
            Pedoman fatwa MUI ditetapkan dalam surat penetapan keputusan MUI nomor U-596/MUI/X/1997.Dalam surat keputusan tersebut terdapat 3 bagian proses utama  dalam menentukan fatwa, yaitu :
1.      Dasar-dasar umum penetapan penetapan fatwa MUI
Dasar-dasar umum penetapan fatwa MUI ditetapkan dalam pasal 2 ayat 1 dan 2.Pada ayat 1 dikatakan bahwa setiap fatwa didasarkan pada adillat al-ahkam yang paling kuat dan memberikan kemaslahatan bagi umat. Dalam ayat 2 dijelaskan bahwa dasar-dasar fatwa adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas, dan dalil-dalil hukum lainnya.
2.      Prosedur penetapan fatwa
·         Pertama, setiap permasalahan yang diajukan dibahas dalam rapat komisi untuk mengetahui subtansi dan duduk permasalahannya.
·         Kedua, dalam rapat komisi dihadirkan ahli yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
·         Ketiga, setelah pendapat para ahli didengar dan dipertimbangkan,para ulama kemudian melakukan kajian terhadap para imam mahzab dengan memperhatikan dalil-dalil yang dipergunakan dengan bebgai cara istidlalnya dan kemaslahatannya bagi umat. pabila antar ulama berpendapat seragam atau hanya satu ulama yang berpendapat,komisi dapat menjadikan pendapat tersebut sebagai fatwa.
·         Keempat, Jika fuqaha memiliki ragam pendapat, komisi memilih pendapat melalui tarjih dan memilih satu pendapat untuk difatwakan.
·         Kelima, jika tarjih tidak menghasilkan produk yang diharapkan,komisi dapat melakukan il haaqul masaa ili bi nadhoo irihaa dengan memperhatikan mulahaq bih, mulahaq ilyh, dan wajh al ilhaq (pasal 5)
·         Keenam, apabila cara il-haq tidak memperoleh produk yang memuaskan, maka komisi dapat melakukan ijtihad jama’i dengan menggunakan al-qawa’id al’ushuliyat dan al-qawa’id al-fiqhiyyat.


3.      Kewenangam MUI adalah berfatwa tentang :
·         Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam seluruh indonesia secara nasional, dan
·         Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga akan dapat meluas ke daerah lain.

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
1. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Arah Kiblat
Majelis Ulama Indonesia (MUI) meralat fatwa No 03 Tahun 2010 tentang Kiblat. Arah kiblat yang sebelumnya disebutkan menghadap barat kini telah direvisi menjadi ke arah barat laut. Letak Indonesia tidak di timur pas Kabah tapi agak ke selatan, jadi arah kiblat kita juga tidak barat pas tapi agak miring yaitu arah barat laut.                                                                                                                 
Fatwa yang diralat tersebut adalah fatwa yang dikeluarkan MUI Tanggal 22 Maret 2010 lalu. Adapun diktum fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat disebutkan:
1. Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat Kabah adalah menghadap ke bangunan Kabah (ainul ka’bah).
2. Kiblat bagi orang yang salat dan tidak dapat melihat Kabah adalah arah Kabah (jihat al-Ka’bah).
3. Letak georafis Indonesia yang berada di bagian timur Kabah/Mekkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat.

2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Pengharaman Merokok
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa kontroversial. Melalui Ijtima` Ulama Komisi Fatwa MUI ke III mengenai pengharaman merokok.Ditetapkan bahwa merokok adalah haram bagi anak-anak, ibu hamil, dan dilakukan di tempat-tempat umum. Sebagai bentuk keteladanan, diharamkan bagi pengurus MUI untuk merokok dalam kondisi yang bagaimanapun. Alasan pengharaman ini karena merokok termasuk perbuatan mencelakakan diri sendiri. Merokok lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya (itsmuhu akbaru min naf`ihi).
Dengan fatwa ini, para ulama dan kiai pesantren terlibat dalam pro dan kontra. Beberapa guru besar agama Islam dan ulama termasuk pengurus MUI daerah menolak pengharaman itu. Bahkan, Institute For Social and Economic Studies (ISES) Indonesia menyelenggarakan pertemuan tandingan yang diikuti para ulama kontra fatwa MUI, para buruh perusahaan rokok, dan petani tembakau, di Padang Panjang. Mereka meminta pencabutan fatwa MUI tersebut, karena dikhawatirkan akan menghancurkan ekonomi masyarakat yang menyandarkan hidupnya pada bisnis tembakau ini.
Dalam konteks itu, Ada beberapa hal yang perlu diketahui dan menjadi bahan pertimbangan:
Pertama, keharaman rokok tidak ditunjuk langsung oleh Alquran dan Hadits, melainkan merupakan hasil produk penalaran para pengurus MUI, sehingga bisa benar atau keliru. Dengan demikian, keharaman rokok tak sama dengan keharaman khamr. Jika haramnya meminum khamr bersifat manshushah (ditunjuk langsung oleh teks Alquran), maka keharaman merokok bersifat mustanbathah (hasil ijtihad para ulama). Menurut para ulama ushul fikih, kata haram biasanya digunakan untuk jenis larangan yang tegas disebut Alquran dan Hadits. Sementara larangan yang tak tegas, tak disebut haram melainkan makruh tahrim.
Kedua, yang menjadi causa hukumnya, menurut ulama MUI, merokok termasuk perbuatan yang mencelakakan diri sendiri. Rokok mengandung zat yang merusak tubuh. Dengan menggunakan mekanisme masalikul `illat dalam metode qiyas ushul fikih, alasan mencelakan diri sendiri tak memenuhi syarat dan kualifikasi sebagai illat al-hukm. Ia terlalu umum (ghair mundhabith). Sebab, sekiranya mencelakan diri sendiri ditetapkan sebagai causa hukum, maka semua barang yang potensial menghancurkan tubuh bisa diharamkan. Gula yang dikonsumsi dalam waktu lama bisa menimbulkan diabetes. Begitu juga makanan lain yang mengandung kolesterol tinggi bisa diharamkan karena akan menyebabkan timbulnya beragam penyakit. Karena itu, diperlukan keahlian sekaligus kehati-hatian dalam menentukan alasan hukum pengharaman sebuah tindakan. Para ahli ushul fikih sepakat bahwa causa hukum sebuah perkara, di samping ditetapkan nash Alquran dan Hadits, juga diputuskan oleh ulama yang telah memenuhi kualifikasi seorang mujtahid.
Ketiga, merumuskan hukum (istinbath al-hukm) dan menerapkan hukum (tathbiq al-hukm) adalah dua subyek yang berbeda. Jika perumusan hukum membutuhkan perlengkapan teknis-intelektual untuk menganalisa dalil-dalil normatif dalam Islam, maka menerapkan hukum memerlukan analisis sosial, ekonomi dan politik.

2.      MANHAJ TARJIH DAN PENGEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM MUHAMMADIYAH

Majlis Tarjih didirikan atas dasar keputusan kongres Muhammadiyah   ke- XVI pada tahun 1927, atas usul dari K.H. Mas Mansyur. Fungsi dari majlis ini adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu. Masalah itu tidak perlu semata-mata terletak pada bidang agama dalam arti sempit, tetapi mungkin juga terletak pada masalah yang dalam arti biasa tidak terletak dalam bidang agama, tetapi pendapat apapun juga haruslah dengan sendirinya didasarkan atas syari’ah, yaitu Qur’an dan Hadits, yang dalam proses pengambilan hukumnya didasarkan pada ilmu ushul fiqh. Majlis ini berusaha untuk mengembalikan suatu persoalan kepada sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, baik masalah itu semula sudah ada hukumnya dan berjalan di masyarakat tetapi masih dipertikaikan di kalangan umat Islam, ataupun yang merupakan masalah-masalah baru, yang sejak semula memang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah keluarga berencana, bayi tabung, bank dan lain-lain.
Majlis Tarjih ini merupakan sebagai wujud nyata organisasi Muhammadiyah dalam rangka memurnikan keyakinan umat Islam Indonesia salah satunya dengan cara menelaah kembali dan pengubahan drastis jika diperlukan menuju penafsiran yang benar dan relevan tehadap Al-Qur’an dan Al-Hadits serta perlu ditekankan bahwa usaha pemurnian tersebut merupakan realisasi dari prinsip dan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.Usaha pemurnian tersebut antara lain dapat disebut :
1.       Penentuan arah kiblat yang tepat dalam bersembahyang, sebagai kebalikan dari kebiasaan sebelumnya, yang menghadap tepat ke arah Barat.
2.       Penggunaan perhitungan astronomi dalam menentukan permulaan dan akhir bulan puasa (hisab), sebagai kebalikan dari pengamatan perjalanan bulan oleh petugas agama.
3.       Menyelenggarakan sembahyang bersama di lapangan terbuka pada hari raya Islam, Idul Fitri dan Idul Adha, sebagai ganti dari sembahyang serupa dalam jumlah jama’ah yang lebih kecil, yang diselengarakan di Masjid.
4.       Pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan korban pada hari raya tersebut di atas, oleh panitia khusus, mewakili masyarakat Islam setempat, yang dapat dibandingkan sebelumnya dengan memberikan hak istimewa dalam persoalan ini pada pegawai atau petugas agama (penghulu, naib, kaum. modin, dan sebagainya).
5.       Penyampaian khutbah dalam bahasa daerah, sebagai ganti dari penyampaian khutbah dalam bahasa Arab.
6.       Penyederhanaan upacara dan ibadah dalam upacara kelahiran, khitanan, perkawinan dan pemakaman, dengan menghilangkan hal-hal yang bersifat politheistis darinya.
7.       Penyerderhanaan makam, yang semula dihiasi secara berlebihan.
8.       Menghilangkan kebiasaan berziarah ke makam orang-orang suci (wali).
9.       Membersihkan anggapan adanya berkah yang bersifat ghaib, yang dimiliki oleh para kyai/ulama tertentu, dan pengaruh ekstrim dari pemujaan terhadap mereka.
10.   Penggunaan kerudung untuk wanita, dan pemisahan laki-laki dengan perempuan dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan.
Dalam rangka usaha tersebut, tidak sedikit rintangan yang dialami. Beberapa tafsir Muhammadiyah tentang Al-Qur’an dan Al-Hadits menimbulkan debat theologis di antara ulama. Tetapi kemudian, beberapa hal yang dipelopori oleh Muhammadiyah menjadi umum di kalangan umat Islam di Indonesia.
PEDOMAN IJTIHAD MT-PPI MUHAMMADIYAH
            Secara singkat bahwa pedoman MT-PPI dapat dikelompokkan menjadi dua,yaitu manhaj ijtihad hukum dan manhaj pengembangan pemikiran Islam.Bagi Muhammadiyah,sumber hukum adalah Al-Qur’an dan Al-sunnat al maqbulat.Sedangkan ruang lingkup ijtihad bagi Muhammadiyah adalah :
·         Masalah-masalah yang terdapat dalam dalil zhanniy,dan
·         Masalah-masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

MT-PPI membedakan 3 istilah teknis dalam ijtihad,yaitu metode’pendekatan dan teknik.Metode ijtihad MT-PPI adalah :
·         Bayani (semantik),yaiti metode istimbath hukum dengan pendekatan kebahasaan
·         Ta’lili (rasional),yaitu metode istinbath hukum dengan pendekatan berfikir logis (nalar),dan
·         Istishlahi (filosofis),yaitu metode istinbath hukum dengan pendekatan kemashlahatan.
Sedangkan pendekatan MT-PPI dalam berijtihad adalah pendekatan :
·         Sejarah
·         Sosiologi
·         Antropologi
·         Hermeneutik

Teknik Ijtihad MT-PPI adalah :
·         Ijma’
·         Qiyas
·         Mashlih Mursalat
·         Al-‘urf

FATWA MP-PPI MUHAMMADIYAH
            Salah satu fatwa MP-PPI nuhammadiyah yang masih terdengar hangat sampai saat ini adalah fatwa pengharaman rokok.
Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mengeluarkan fatwa bahwa merokok adalah kegiatan haram bagi umat Islam.Berbeda dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), fatwa haram yang dikeluarkan Muhammadiyah itu tanpa batas umur tertentu.
Pada tahun 2005 Majelis Tarjih terlebih dahulu mengeluarkan fatwa yang berbunyi, merokok hukumnya mubah, yang berarti boleh dikerjakan, tapi kalau ditinggalkan lebih baik. Namun, fatwa itu kemudian direvisi karena dampak negatif merokok mulai dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, tidak hanya oleh perokok.
Keputusan yang dituangkan dalam fatwa No 6/SM/MTT/III/2010 itu menggunakan pertimbangan dasar dalam Alquran dan hadis (hukum Islam), serta pertimbangan sebab-akibat. Merokok terbukti sebagai upaya menyakiti dan membahayakan diri sendiri secara perlahan. Merokok juga menimbulkan mudharat untuk orang lain, serta termasuk tindak pemborosan yang mubazir.
Dasar ketiga hal tersebut secara jelas tertuang dalam Surat An-Nisa ayat 29, surat Al Baqarah ayat 195.
Muhammadiyah sedang menyiapkan jalan keluar penyiapan tanaman alih fungsi bagi petani tembakau. Pihaknya juga akan menekan pemerintah untuk membatasi impor tembakau yang menyengsarakan petani kecil. Wacana pelarangan merokok akan menyengsarakan petani dan mempengaruhi ekonomi bias terbantahkan karena yang paling diuntungkan dari industry rokok adalah pemilik perusahaan dan bukan petani.
Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, menyambut baik fatwa haram tersebut.  Dia menjelaskan, tingkat perokok pada anak-anak saat ini telah menyentuh usia 5 tahun. Hal tersebut menunjukkan bagaimana marketing rokok telah efektif menarik perhatian anak kecil.

3.      BAHTSUL MASA’IL
Bahtsul masa’il merupakan sebuah lembaga hukum Islam di bawah naungan organisasi Nahdhatul Ulama (NU).Sebelum masuk lebih jauh tentang lembaga ini perlu diketahui salah satu informasi berkenaan dengan lembaga hukum ini.
 Kira-kira sejak 1980-an ketika mulai muncul dan marak diskusi tentang tajdid karena adanya keterbatasan kitab-kitab fiqih klasik dalam menjawab persoalan kontemporer di samping munculnya ide konstekstualisasi kitab kuning. Sejak itu lalu berkali-kali diadakan halaqah (diskusi) yang diikuti oleh beberapa ulama Syuriyah dan pengasuh pondok pesantren untuk merumuskan fiqih baru itu. Kesepakatan telah dicapai, yaitu menambah dan memperluas muatan agenda bahtsul masail yang tidak saja meliputi persoalan hukum halal/haram melainkan juga hal-hal yang bersifat pengembangan pemikiran keislaman dan kajian kitab.
Dalam halaqah ini juga disepakati perlunya melengkapi referensi madzhab selain syafii dan perlunya penyusunan sistematika bahasan yang mencakup pengembangan metode-metode dan proses pembahasan untuk mencapai tingkat kedalaman dan ketuntasan suatu masalah. Rumusan fiqih baru ini kemudian di bahas secara intensif pada Muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta yang kemudian dikukuhkan dalam Munas Alim Ulama di Lampung, 1992. Di dalam hasil Munas tersebut diantaranya disebutkan perlunya bermazhab secara manhaji (metodologis) serta merekomendasikan para kiai NU yang sudah mempunyai kemampuan intelektual cukup untuk beristinbath langsung dari teks dasar. Jika tidak mampu maka diadakan ijtihad jamai (ijtihad kolektif). Bentuknya bisa istinbath (menggali dari teks asal/dasar) maupun ilhaq (qiyas).
Pengertian istinbath hukum di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Quran dan Sunnah akan tetapi sesuai dengan sikap dasar bermazhab mentathibkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Sedangkan istinbath dalam pengertian pertama (cenderung ke arah perilaku ijtihad yang oleh ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka.
Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh yang namanya mujtahid. Sementara itu, istinbath dalam pengertiannya yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat kitab-kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat istinbath di kalangan NU terutama dalam kerja bahtsu masail-nya Syuriyah NU tidak populer karena kalimat itu telah populer di kalangan ulama NU dengan konotasinya yang pertama yaitu ijtihad, suatu hal yang oleh ulama Syuriyah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya dipakai kalimat bahtsul masail yang artinya membahas masalah-masalah waqiah (yang terjadi) melalui maraji(referensi) yaitu kutubul-fuqaha (kitab-kitab karya para ahli fiqih).
Kenyataan mengenai terlalu dominannya Mazhab Syafii memang ada. Pendapat para ulama Syafiiyah masih cukup dominan dalam forum bahtsul masail NU. Namun demikian perlu saya jelaskan bahwa dominasi Sayfii bukan berarti ulama NU menolak pendapat (aqwal) ulama di luar Sayifiyyah. Hal itu dilakukan lantaran para kiai NU memang tidak mempunyai referensi lain di luar mazhab Syafii semisal kitab al-Mudawanah (Imam Malik), Kanzal al-Wushul (Bazdawi al-Hanafi), al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Ibnu Hazm),

PEDOMAN PENETAPAN KEPUTUSAN HUKUM
            Sistem pengambilan keputusan hukum dala bahtsul masa’il di lingkungan NU ditetapkan dalam musyawarah nasional (munas) alim ulama NU di Bandar Lampung pada tanggal 21-25 Januari 1992 dan bertepatan dengan tanggal 16-20 rajab 1412 H.
            Secara garis besar,metode pengambilan keputusan hukum yang ditetapkan oleh NU dibedakan menjadi dua bagian: ketentuan umm,dan sistem pengambilan keputusan hukum serta petunjuk pelaksana.
            Dalam ketentuan umum dijelaskan mengenai beberapa istilah teknis dan penegasan keberpihakan dan pembelaan NU terhadap ulam sebagai produsen kitab kuning.
            Dalam ketentuan umum dijelaskan mengenai al-kutub al-mu’tabarat yaitu kitab-kitab yang sesuai dengan akidah ahlul sunnah wal jama’ah.kemudian dijelaskan cara-cara bermahzab atau mengikuti aliran hukum (fikih) dan akidah tertentu.Aliran fikih dapat diikuti dengan dua cara:pertama,bermahzab secara qawli,yaitu mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam ruang lingkup aliran atau mahzab tertentu,dan kedua bermahzab secara manhaji,yaitu bermahzab dengan cara mengikuti jalan pikiran dankaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam mahzab.Pendapat imam pendiri mahzab disebut qawl dan pendapat ulama pengikut mahzab disebut wajah/al wajh.
            Apabila ulam berbeda pendapat tentang hukum tertentu,ulam sesudahnya dapat melakukan taqrir jama’iy,yaitu upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu antar beberapa qawl atau wajh.
            Alat bantu Istinbath hukum adalah kaidah ushuliyah dan kaidah-kaidah fikih’dan cara yang digunakan dalam berijtihad adalah ilhaq,yaitu mempersamakan hukum suatu kasus atau masalah yang dijawab oleh ulama 9dalam kitab-kitab standar) terhadap ,asalah atau kasus yang serupa yang telah dijawab oleh ulama.Dengan kata lain,pendapat ulama yang sidah jadi menjadi “pokok” dan kasus atau masalah yang belum ada rukunnya disebut “cabang”.
            Bagian kedua adalah sistem pengambilan keputusan hukum,yaitu:
·         Apabila masalah atau pertanyaan telah ada jawabannya dalam kitab-kitab standar dan dalam kitab-kitab tersebut hanya terdapat satu qawl atau wajah,hal tersebuta dapat digunakan sebagai jawaban atau keputusan.
·         Apabila suatu masalah atau pertanyaan telah ada jawabannya dalam kitab-kitab standar,akan tetapi terdapat beberapa qawl atau wajah,maka yang dilakukan adalah taqrir jama’i untuk menentukan pilihan.Prosedurnya: pertama,mengambil pendapat yang lebih maslahat atau yang lebih kuat,kedua, sedapat mungkin melakukan pemilihan pendapat dengan mempertimbangkan tingkatan sebagai berikut:
1.      Pendapat yang disepakati oleh Asy-Syakhani (Imam Nawawi dan Rafi’i)
2.      Pendapat yang dipegangi oleh imam Nawawi saja
3.      Pendapat yang dipegangi Al-Rafi’i saja
4.      Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama
5.      Pendapat ulama yang pandai
6.      Pendapat ulam yang paling wara’.
·         Apabila masalah atau pertanyaan tidak terjawab sama sekali dalam kitab-kitab standar,langkah yang dilakukan adalah Ilhaq yang dilakukan oleh ulam ahli segara kolektif atau jama’i.Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq bih,mulhaq ilayh,wajh al ilhaq.
·         Apabila masih tidak ada jawabannya sama sekali,maka langkah yang ditempuh adalah Istinbath secara kolektif dengan prosedur bermahzab secara manhaji oleh para ahlinya.Istinbath dilakukan secara jama’i dengan mempraktekkan kaidah ushul dan kaidah fikih.


4.      DEWAN HISBAH PERSIS
Dewan Hisbah Persis merupakan suatu lembaga hokum dibawah naungan organisasi keagamaan persatuan Islam (persis). Thuhruq al-istinbath hokum islam dewan hisbah persatuan Islam (Persis) ditetapkan dalam keputusan siding Dewan Hisbah Persis XIV yang ditandatangani oleh ketua Persis KHE. Sar’an dan oleh sekretaris Persis H.Shiddiq Amin. Sidang ini diselenggarakan pada tanggal 8 Juni 1996 yang kemudian diterbitkan oleh pimpinan pusat persis Jl.Pajagalan No.14 Bandung.
PEDOMAN IJTIHAD DEWAN HISBAH PERSIS
            Secara umum, Pengambilan keputusan hukum Islam dewan Hisbah Persis dibedakan menjadi tiga : pendahuluan, sumber hukum dan metode Istinbath hukum.
            Pendahuluan metodologi pengambilan keputusan (thuruq al-istinbath) hukum Islam berisi tentang definisi (batasan) hukum secara bahasa dan istilah. Dalam metodologi pengambilan keputusan hukum islam dikatakan bahwa hukum adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain atau mencegahnya. Disamping itu dalam pendahuluan dijelaskan pula lima kategori hukum, yaitu ijab (wajib), nadb (sunnah), tahrim (haram), karahah (makruh), dan ibadah (mubah atau kebolehan).
           
Pada bagian kedua dijelaskan bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan As-sunnah. Pada bagian ketiga, yaitu metode istinbath hukum terdiri atas :
·         Kaidah Ushuliya atau kaidah bahasa
·         Cara-cara menyelesaikan nash yang tampak bertentangan
·         Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat
·         Prinsip-prinsip dalam beristidlal dengan Al-Qur’an
·         Prinsip-prinsip dalam beristidlal dengan hadits
·         Masalah-masalah yang tidak ditetapkan ketentuannya dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah,diselesaikan dengan cara ijtihad jama’i (kolektif).



APLIKASI THURUQ AL ISTINBATH HUKUM DEWAN HISBAH : MENGHAJIKAN ORANG YANG TELAH LANJUT USIA.

Ijtihad jama’i yang dilakukan oleh Dewan Hisbah ialah dengan cara diskusi, seminar, atau lokakarya. Hal ini terlihat dari pendahuluan setiap keputusan dewan hisbah yang memperhatikan makalah. Dalam pertimbangan keputusan tentang menghajikan orang yang sudah lanjut usia dikatakan bahwa : a.Ibadah hanya diwajibkan kepada umat islam yang mampu; b.Setiap manusia akan menerima balasan terhadap apa yang diusahakannya sendiri; c.Berbuat baik kepada kedua orang tua hukumnya wajib; d.Hadits-hadits tentang melaksanakan haji untuk orangtua yang lanjut usia, sakit dan wafat adalah shahih dari segi sanadnya; e.Hadits tentang melaksanakan Haji untuk saudara/kerabat tidak ada kesepakatan tentang keshahihannya; dan f.Hadits tentang melaksanakan haji untuk orang lain yang bukan keluarga, sama sekali tidak ditemukan haditsnya.
Setelah mempertimbangkan dalil-dalil di atas dewan hisbah menetapkan bahwa: a. Melaksanakan ibadah haji untuk orang lain (baik yang masih hidup maupun sudah meninggal) terlarang; b.Seorang anak yang melaksanakan ibadah haji dengan maksud menghajikan orang tuanya, terlarang (tidak boleh); dan c. Seorang anak yang melaksanakan ibadah haji  (untuk dirinya sendiri) termasuk wujud perbutan baik terhadap orang tua (birul alwalidayn).
Keputusan dewan hisbah mengenai hukum menghajikan orang yang sudah lanjut usia dilakukan setelah mempertimbangkan Al-Quran dan hadist. Ayat-ayat al-quran yang dijadikan dasar adalah QS. Ali Imran:97, QS. Al Najm:39, dan QS. Luqman:14. Sedangkan hadist yang dipertimbangkan oleh dewan hisbah adalah hadist-hadist tentang anak yang melakukan ibadah haji untuk orang tua dan kerabatnya. Yang menarik dalam keputusan tersebut adalah bahwa dewan hisbah berusaha mempertimbangkan kualitas hadist yang digunakan.


Keputusan dewan hisbah berupa pernyataan “tidak boleh” atau “terlarang” kelihatannya merupakan keputusan yang tidak merujuk pada istilah teknis yang telah digunakan dalam metode pengambilan keputusan hukumnya, yaitu ijab (wajib), nadb (sunnah), tahrim (haram), karahat (makruh), ibahat (kebolehan). Paling tidak, kata “terlarang” dan “tidak boleh” dapat direalisasikan dengan dua kemungkinan : pertama, kemungkinan hukumnya haram ; atau kedua, kemungkinanm hukumnya makruh.
Keputusan dewan hisbah tersebut “bercutat” pelaksanaan ada kata istitha’at (berkemampuan), yakni ibadah haji diwajibkan kepada orang yang mampu melaksanakannya.
Mampu melaksanakan ibadah haji mencakup kemampuan ekonomi dan kemampuan fisik. Kemampuan ekonomi adalah berhubungan dengan bekal selama melaksanakan ibadah haji, ongkos diperjalanan, dan keperluan-keperluan teknis lainnya, seperti penginapan; dan kemampuan dalam artian fisik mencakup kemampuan fisik dan kemampuan rohani. Oleh karena itu, dari segi keumuman kata istitha’at, orang yang sudah lanjut usia tidak terkena perintah untuk melaksanakan ibadah haji karena ia tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakannya dari segi kemampuan secara fisik.