LEMBAGA-LEMBAGA
HUKUM ISLAM DI INDONESIA
1.
MAJELIS ULAMA INDONESIA ( MUI )
Majelis Ulama
Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan
cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat
Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia
berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di
Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan
dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. MUI berdiri
sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama
yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh
enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang
ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat,
yaitu,NU,Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al-Washliyyah, mathla’ul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI, Al-Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani
Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan laut dan Polri serta 13 orang
tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut,
dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat
bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam
sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta
musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum
berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase
kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah
banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap
masalah kesejahteraan rohani umat.Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima
tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan
cendekiawan muslim berusaha untuk:
1. Memberikan bimbingan dan tuntunan
kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan
bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT.
2. Memberikan nasihat dan fatwa
mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat,
meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat
beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Menjadi penghubung antara ulama
dan umaro (pemerintah).
4. Meningkatkan hubungan serta
kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam
memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan
mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Majelis Ulama
Indonesia sampai saat ini telah melakukan beberapa kongres atau musyawarah
nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan
Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan
KH. M. Sahal Mahfudz. Ketiga pemimpin MUI pertama telah meninggal dunia dan
mengakhiri tugas-tugasnya.Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah
untuk memimpin majelis para ulama ini.Saat ini ketua MUI dipegang oleh
KH.M.Sahal Mahfudz.
Sebagai Lembaga hukum Islam, MUI mempunyai lima fungsi dan
peran utama yaitu :
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para
Nabi (Warasatul Anbiya).
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti).
3. Sebagai pembimbing dan pelayan
umat (Ri’ayat wa khadim al ummah).
4. Sebagai gerakan Ishlah wa al
tajdid
5. Sebagai penegak amar ma'ruf nahi
munkar.
HUBUNGAN MUI DENGAN PIHAK
LUAR
Sebagai
organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim serta
tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah
gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan
organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki
keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini
ditampilkan dalam kemandirian kepada
pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap
dan mengambil keputusan atas nama organisasi. Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi
kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud
dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi
organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya
sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam.
Majelis Ulama
Indonesia, sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan
cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam. Namun perlu
ditegaskna bahwa kemandirian tidak berarti menghalangi Majelis Ulama Indonesia
untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam
negeri maupun luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai
posisi masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis
Ulama Indonesia. Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama
Indonesia bahwa dirinya hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat
beragam dimana dirinya menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus
hidupberdampingan dan bekerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan
kemajuan bangsa.Sikap Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar
mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (Rahmat bagi Seluruh Alam).
PEDOMAN FATWA MUI
Pedoman
fatwa MUI ditetapkan dalam surat penetapan keputusan MUI nomor U-596/MUI/X/1997.Dalam
surat keputusan tersebut terdapat 3 bagian proses utama dalam menentukan fatwa, yaitu :
1. Dasar-dasar umum penetapan penetapan fatwa MUI
Dasar-dasar umum penetapan fatwa MUI ditetapkan dalam
pasal 2 ayat 1 dan 2.Pada ayat 1 dikatakan bahwa setiap fatwa didasarkan pada
adillat al-ahkam yang paling kuat dan memberikan kemaslahatan bagi umat. Dalam ayat 2 dijelaskan bahwa
dasar-dasar fatwa adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas, dan dalil-dalil hukum
lainnya.
2. Prosedur penetapan fatwa
·
Pertama, setiap
permasalahan yang diajukan dibahas dalam rapat komisi untuk mengetahui subtansi
dan duduk permasalahannya.
·
Kedua, dalam rapat
komisi dihadirkan ahli yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
·
Ketiga, setelah pendapat
para ahli didengar dan dipertimbangkan,para ulama kemudian melakukan kajian
terhadap para imam mahzab dengan memperhatikan dalil-dalil yang dipergunakan
dengan bebgai cara istidlalnya dan kemaslahatannya bagi umat. pabila antar
ulama berpendapat seragam atau hanya satu ulama yang berpendapat,komisi dapat
menjadikan pendapat tersebut sebagai fatwa.
·
Keempat, Jika fuqaha
memiliki ragam pendapat, komisi memilih pendapat melalui tarjih dan memilih
satu pendapat untuk difatwakan.
·
Kelima, jika tarjih
tidak menghasilkan produk yang diharapkan,komisi dapat melakukan il haaqul
masaa ili bi nadhoo irihaa dengan memperhatikan mulahaq bih, mulahaq ilyh, dan wajh al
ilhaq (pasal 5)
·
Keenam, apabila cara
il-haq tidak memperoleh produk yang memuaskan, maka komisi
dapat melakukan ijtihad jama’i dengan menggunakan al-qawa’id al’ushuliyat dan
al-qawa’id al-fiqhiyyat.
3.
Kewenangam MUI
adalah berfatwa tentang :
·
Masalah-masalah
keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam seluruh indonesia secara
nasional, dan
·
Masalah-masalah
keagamaan di suatu daerah yang diduga akan dapat meluas ke daerah lain.
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
1. Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Tentang Arah Kiblat
Majelis Ulama Indonesia (MUI) meralat
fatwa No 03 Tahun 2010 tentang Kiblat. Arah kiblat yang sebelumnya disebutkan
menghadap barat kini telah direvisi menjadi ke arah barat laut. Letak Indonesia
tidak di timur pas Kabah tapi agak ke selatan, jadi arah kiblat kita juga tidak
barat pas tapi agak miring yaitu arah barat laut.
Fatwa yang diralat tersebut adalah
fatwa yang dikeluarkan MUI Tanggal 22 Maret 2010 lalu. Adapun diktum fatwa MUI
No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat disebutkan:
1. Kiblat bagi orang shalat dan dapat
melihat Kabah adalah menghadap ke bangunan Kabah (ainul ka’bah).
2. Kiblat bagi orang yang salat dan
tidak dapat melihat Kabah adalah arah Kabah (jihat al-Ka’bah).
3. Letak georafis Indonesia yang
berada di bagian timur Kabah/Mekkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah
menghadap ke arah barat.
2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Tentang Pengharaman Merokok
Majelis Ulama
Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa kontroversial. Melalui Ijtima` Ulama Komisi
Fatwa MUI ke III mengenai pengharaman merokok.Ditetapkan bahwa merokok adalah
haram bagi anak-anak, ibu hamil, dan dilakukan di tempat-tempat umum. Sebagai
bentuk keteladanan, diharamkan bagi pengurus MUI untuk merokok dalam kondisi
yang bagaimanapun. Alasan pengharaman ini karena merokok termasuk perbuatan
mencelakakan diri sendiri. Merokok lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya
(itsmuhu akbaru min naf`ihi).
Dengan fatwa ini,
para ulama dan kiai pesantren terlibat dalam pro dan kontra. Beberapa guru
besar agama Islam dan ulama termasuk pengurus MUI daerah menolak pengharaman
itu. Bahkan, Institute For Social and Economic Studies (ISES) Indonesia
menyelenggarakan pertemuan tandingan yang diikuti para ulama kontra fatwa MUI,
para buruh perusahaan rokok, dan petani tembakau, di Padang Panjang. Mereka
meminta pencabutan fatwa MUI tersebut, karena dikhawatirkan akan menghancurkan
ekonomi masyarakat yang menyandarkan hidupnya pada bisnis tembakau ini.
Dalam konteks
itu, Ada beberapa hal yang perlu diketahui dan menjadi bahan pertimbangan:
Pertama,
keharaman rokok tidak ditunjuk langsung oleh Alquran dan Hadits, melainkan
merupakan hasil produk penalaran para pengurus MUI, sehingga bisa benar atau
keliru. Dengan demikian, keharaman rokok tak sama dengan keharaman khamr. Jika
haramnya meminum khamr bersifat manshushah (ditunjuk langsung oleh teks
Alquran), maka keharaman merokok bersifat mustanbathah (hasil ijtihad para
ulama). Menurut para ulama ushul fikih, kata haram biasanya digunakan untuk
jenis larangan yang tegas disebut Alquran dan Hadits. Sementara larangan yang
tak tegas, tak disebut haram melainkan makruh tahrim.
Kedua, yang
menjadi causa hukumnya, menurut ulama MUI, merokok termasuk perbuatan yang
mencelakakan diri sendiri. Rokok mengandung zat yang merusak tubuh. Dengan
menggunakan mekanisme masalikul `illat dalam metode qiyas ushul fikih, alasan
mencelakan diri sendiri tak memenuhi syarat dan kualifikasi sebagai illat
al-hukm. Ia terlalu umum (ghair mundhabith). Sebab, sekiranya mencelakan diri
sendiri ditetapkan sebagai causa hukum, maka semua barang yang potensial
menghancurkan tubuh bisa diharamkan. Gula yang dikonsumsi dalam waktu lama bisa
menimbulkan diabetes. Begitu juga makanan lain yang mengandung kolesterol
tinggi bisa diharamkan karena akan menyebabkan timbulnya beragam penyakit.
Karena itu, diperlukan keahlian sekaligus kehati-hatian dalam menentukan alasan
hukum pengharaman sebuah tindakan. Para ahli ushul fikih sepakat bahwa causa
hukum sebuah perkara, di samping ditetapkan nash Alquran dan Hadits, juga
diputuskan oleh ulama yang telah memenuhi kualifikasi seorang mujtahid.
Ketiga,
merumuskan hukum (istinbath al-hukm) dan menerapkan hukum (tathbiq al-hukm)
adalah dua subyek yang berbeda. Jika perumusan hukum membutuhkan perlengkapan
teknis-intelektual untuk menganalisa dalil-dalil normatif dalam Islam, maka
menerapkan hukum memerlukan analisis sosial, ekonomi dan politik.
2.
MANHAJ TARJIH
DAN PENGEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM MUHAMMADIYAH
Majlis Tarjih didirikan
atas dasar keputusan kongres Muhammadiyah ke- XVI pada tahun 1927,
atas usul dari K.H. Mas Mansyur. Fungsi dari majlis ini adalah mengeluarkan
fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu. Masalah itu tidak
perlu semata-mata terletak pada bidang agama dalam arti sempit, tetapi mungkin
juga terletak pada masalah yang dalam arti biasa tidak terletak dalam bidang
agama, tetapi pendapat apapun juga haruslah dengan sendirinya didasarkan atas
syari’ah, yaitu Qur’an dan Hadits, yang dalam proses pengambilan hukumnya
didasarkan pada ilmu ushul fiqh. Majlis ini berusaha untuk mengembalikan suatu
persoalan kepada sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, baik masalah itu
semula sudah ada hukumnya dan berjalan di masyarakat tetapi masih dipertikaikan
di kalangan umat Islam, ataupun yang merupakan masalah-masalah baru, yang sejak
semula memang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah keluarga berencana,
bayi tabung, bank dan lain-lain.
Majlis Tarjih ini merupakan
sebagai wujud nyata organisasi Muhammadiyah dalam rangka memurnikan keyakinan
umat Islam Indonesia salah satunya dengan cara menelaah kembali dan pengubahan
drastis jika diperlukan menuju penafsiran yang benar dan relevan tehadap
Al-Qur’an dan Al-Hadits serta perlu ditekankan bahwa usaha pemurnian tersebut
merupakan realisasi dari prinsip dan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.Usaha
pemurnian tersebut antara lain dapat disebut :
1.
Penentuan
arah kiblat yang tepat dalam bersembahyang, sebagai kebalikan dari kebiasaan
sebelumnya, yang menghadap tepat ke arah Barat.
2.
Penggunaan
perhitungan astronomi dalam menentukan permulaan dan akhir bulan puasa (hisab),
sebagai kebalikan dari pengamatan perjalanan bulan oleh petugas agama.
3.
Menyelenggarakan
sembahyang bersama di lapangan terbuka pada hari raya Islam, Idul Fitri dan
Idul Adha, sebagai ganti dari sembahyang serupa dalam jumlah jama’ah yang lebih
kecil, yang diselengarakan di Masjid.
4.
Pengumpulan
dan pembagian zakat fitrah dan korban pada hari raya tersebut di atas, oleh
panitia khusus, mewakili masyarakat Islam setempat, yang dapat dibandingkan
sebelumnya dengan memberikan hak istimewa dalam persoalan ini pada pegawai atau
petugas agama (penghulu, naib, kaum. modin, dan sebagainya).
5.
Penyampaian
khutbah dalam bahasa daerah, sebagai ganti dari penyampaian khutbah dalam
bahasa Arab.
6.
Penyederhanaan
upacara dan ibadah dalam upacara kelahiran, khitanan, perkawinan dan pemakaman,
dengan menghilangkan hal-hal yang bersifat politheistis darinya.
7.
Penyerderhanaan
makam, yang semula dihiasi secara berlebihan.
8.
Menghilangkan
kebiasaan berziarah ke makam orang-orang suci (wali).
9.
Membersihkan
anggapan adanya berkah yang bersifat ghaib, yang dimiliki oleh para kyai/ulama
tertentu, dan pengaruh ekstrim dari pemujaan terhadap mereka.
10. Penggunaan kerudung untuk
wanita, dan pemisahan laki-laki dengan perempuan dalam pertemuan-pertemuan yang
bersifat keagamaan.
Dalam rangka usaha
tersebut, tidak sedikit rintangan yang dialami. Beberapa tafsir Muhammadiyah
tentang Al-Qur’an dan Al-Hadits menimbulkan debat theologis di antara ulama. Tetapi
kemudian, beberapa hal yang dipelopori oleh Muhammadiyah menjadi umum di
kalangan umat Islam di Indonesia.
PEDOMAN IJTIHAD MT-PPI MUHAMMADIYAH
Secara
singkat bahwa pedoman MT-PPI dapat dikelompokkan menjadi dua,yaitu manhaj
ijtihad hukum dan manhaj pengembangan pemikiran Islam.Bagi Muhammadiyah,sumber
hukum adalah Al-Qur’an dan Al-sunnat al maqbulat.Sedangkan ruang lingkup
ijtihad bagi Muhammadiyah adalah :
·
Masalah-masalah yang terdapat
dalam dalil zhanniy,dan
·
Masalah-masalah yang secara
eksplisit tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
MT-PPI
membedakan 3 istilah teknis dalam ijtihad,yaitu metode’pendekatan dan teknik.Metode
ijtihad MT-PPI adalah :
·
Bayani (semantik),yaiti metode
istimbath hukum dengan pendekatan kebahasaan
·
Ta’lili (rasional),yaitu metode
istinbath hukum dengan pendekatan berfikir logis (nalar),dan
·
Istishlahi (filosofis),yaitu
metode istinbath hukum dengan pendekatan kemashlahatan.
Sedangkan
pendekatan MT-PPI dalam berijtihad adalah pendekatan :
·
Sejarah
·
Sosiologi
·
Antropologi
·
Hermeneutik
Teknik Ijtihad MT-PPI adalah :
·
Ijma’
·
Qiyas
·
Mashlih Mursalat
·
Al-‘urf
FATWA MP-PPI MUHAMMADIYAH
Salah
satu fatwa MP-PPI nuhammadiyah yang masih terdengar hangat sampai saat ini
adalah fatwa pengharaman rokok.
Pengurus Pusat
(PP) Muhammadiyah mengeluarkan fatwa bahwa merokok adalah kegiatan haram bagi
umat Islam.Berbeda dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), fatwa haram yang
dikeluarkan Muhammadiyah itu tanpa batas umur tertentu.
Pada tahun 2005
Majelis Tarjih terlebih dahulu mengeluarkan fatwa yang berbunyi, merokok
hukumnya mubah, yang berarti boleh dikerjakan, tapi kalau ditinggalkan lebih
baik. Namun, fatwa itu kemudian direvisi karena dampak negatif merokok mulai
dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, tidak hanya oleh perokok.
Keputusan yang
dituangkan dalam fatwa No 6/SM/MTT/III/2010 itu menggunakan pertimbangan dasar
dalam Alquran dan hadis (hukum Islam), serta pertimbangan sebab-akibat. Merokok
terbukti sebagai upaya menyakiti dan membahayakan diri sendiri secara perlahan.
Merokok juga menimbulkan mudharat untuk orang lain, serta termasuk tindak
pemborosan yang mubazir.
Dasar ketiga hal
tersebut secara jelas tertuang dalam Surat An-Nisa ayat 29, surat Al Baqarah
ayat 195.
Muhammadiyah sedang menyiapkan jalan keluar penyiapan
tanaman alih fungsi bagi petani tembakau. Pihaknya juga akan menekan pemerintah
untuk membatasi impor tembakau yang menyengsarakan petani kecil. Wacana pelarangan
merokok akan menyengsarakan petani dan mempengaruhi ekonomi bias terbantahkan karena yang paling
diuntungkan dari industry rokok
adalah pemilik perusahaan dan bukan petani.
Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, menyambut baik fatwa haram tersebut. Dia menjelaskan, tingkat perokok pada anak-anak saat ini telah
menyentuh usia 5 tahun.
Hal tersebut menunjukkan bagaimana marketing rokok telah efektif menarik perhatian anak
kecil.
3. BAHTSUL
MASA’IL
Bahtsul masa’il merupakan sebuah lembaga hukum Islam
di bawah naungan organisasi Nahdhatul Ulama (NU).Sebelum masuk lebih jauh
tentang lembaga ini perlu diketahui salah satu informasi berkenaan dengan
lembaga hukum ini.
Kira-kira sejak 1980-an ketika mulai muncul
dan marak diskusi tentang tajdid karena adanya keterbatasan kitab-kitab fiqih
klasik dalam menjawab persoalan kontemporer di samping munculnya ide
konstekstualisasi kitab kuning. Sejak itu lalu berkali-kali diadakan halaqah
(diskusi) yang diikuti oleh beberapa ulama Syuriyah dan pengasuh pondok
pesantren untuk merumuskan fiqih baru itu. Kesepakatan telah dicapai, yaitu
menambah dan memperluas muatan agenda bahtsul masail yang tidak saja meliputi
persoalan hukum halal/haram melainkan juga hal-hal yang bersifat pengembangan
pemikiran keislaman dan kajian kitab.
Dalam halaqah
ini juga disepakati perlunya melengkapi referensi madzhab selain syafii dan
perlunya penyusunan sistematika bahasan yang mencakup pengembangan metode-metode
dan proses pembahasan untuk mencapai tingkat kedalaman dan ketuntasan suatu
masalah. Rumusan fiqih baru ini kemudian di bahas secara intensif pada Muktamar
ke-28 di Krapyak, Yogyakarta yang kemudian dikukuhkan dalam Munas Alim Ulama di
Lampung, 1992. Di dalam hasil Munas tersebut diantaranya disebutkan perlunya
bermazhab secara manhaji (metodologis) serta merekomendasikan para kiai NU yang
sudah mempunyai kemampuan intelektual cukup untuk beristinbath langsung dari
teks dasar. Jika tidak mampu maka diadakan ijtihad jamai (ijtihad kolektif).
Bentuknya bisa istinbath (menggali dari teks asal/dasar) maupun ilhaq (qiyas).
Pengertian
istinbath hukum di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari
sumber aslinya, yaitu al-Quran dan Sunnah akan tetapi sesuai dengan sikap dasar
bermazhab mentathibkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam
konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Sedangkan istinbath dalam pengertian
pertama (cenderung ke arah perilaku ijtihad yang oleh ulama NU dirasa sangat
sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka.
Terutama di
bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh yang namanya
mujtahid. Sementara itu, istinbath dalam pengertiannya yang kedua, selain
praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat
kitab-kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu,
kalimat istinbath di kalangan NU terutama dalam kerja bahtsu masail-nya
Syuriyah NU tidak populer karena kalimat itu telah populer di kalangan ulama NU
dengan konotasinya yang pertama yaitu ijtihad, suatu hal yang oleh ulama
Syuriyah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya
dipakai kalimat bahtsul masail yang artinya membahas masalah-masalah waqiah
(yang terjadi) melalui maraji(referensi) yaitu kutubul-fuqaha (kitab-kitab
karya para ahli fiqih).
Kenyataan
mengenai terlalu dominannya Mazhab Syafii memang ada. Pendapat para ulama
Syafiiyah masih cukup dominan dalam forum bahtsul masail NU. Namun demikian
perlu saya jelaskan bahwa dominasi Sayfii bukan berarti ulama NU menolak
pendapat (aqwal) ulama di luar Sayifiyyah. Hal itu dilakukan lantaran para kiai
NU memang tidak mempunyai referensi lain di luar mazhab Syafii semisal kitab
al-Mudawanah (Imam Malik), Kanzal al-Wushul (Bazdawi al-Hanafi), al-Ihkam fi
Ushul al-Ahkam (Ibnu Hazm),
PEDOMAN PENETAPAN KEPUTUSAN HUKUM
Sistem
pengambilan keputusan hukum dala bahtsul masa’il di lingkungan NU ditetapkan
dalam musyawarah nasional (munas) alim ulama NU di Bandar Lampung pada tanggal
21-25 Januari 1992 dan bertepatan dengan tanggal 16-20 rajab 1412 H.
Secara
garis besar,metode pengambilan keputusan hukum yang ditetapkan oleh NU
dibedakan menjadi dua bagian: ketentuan umm,dan sistem pengambilan keputusan
hukum serta petunjuk pelaksana.
Dalam
ketentuan umum dijelaskan mengenai beberapa istilah teknis dan penegasan
keberpihakan dan pembelaan NU terhadap ulam sebagai produsen kitab kuning.
Dalam
ketentuan umum dijelaskan mengenai al-kutub al-mu’tabarat yaitu kitab-kitab
yang sesuai dengan akidah ahlul sunnah wal jama’ah.kemudian dijelaskan
cara-cara bermahzab atau mengikuti aliran hukum (fikih) dan akidah
tertentu.Aliran fikih dapat diikuti dengan dua cara:pertama,bermahzab secara
qawli,yaitu mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam ruang lingkup
aliran atau mahzab tertentu,dan kedua bermahzab secara manhaji,yaitu bermahzab
dengan cara mengikuti jalan pikiran dankaidah penetapan hukum yang telah
disusun oleh imam mahzab.Pendapat imam pendiri mahzab disebut qawl dan pendapat
ulama pengikut mahzab disebut wajah/al wajh.
Apabila
ulam berbeda pendapat tentang hukum tertentu,ulam sesudahnya dapat melakukan
taqrir jama’iy,yaitu upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap
satu antar beberapa qawl atau wajh.
Alat
bantu Istinbath hukum adalah kaidah ushuliyah dan kaidah-kaidah fikih’dan cara
yang digunakan dalam berijtihad adalah ilhaq,yaitu mempersamakan hukum suatu
kasus atau masalah yang dijawab oleh ulama 9dalam kitab-kitab standar) terhadap
,asalah atau kasus yang serupa yang telah dijawab oleh ulama.Dengan kata
lain,pendapat ulama yang sidah jadi menjadi “pokok” dan kasus atau masalah yang
belum ada rukunnya disebut “cabang”.
Bagian
kedua adalah sistem pengambilan keputusan hukum,yaitu:
·
Apabila masalah atau pertanyaan
telah ada jawabannya dalam kitab-kitab standar dan dalam kitab-kitab tersebut
hanya terdapat satu qawl atau wajah,hal tersebuta dapat digunakan sebagai
jawaban atau keputusan.
·
Apabila suatu masalah atau
pertanyaan telah ada jawabannya dalam kitab-kitab standar,akan tetapi terdapat
beberapa qawl atau wajah,maka yang dilakukan adalah taqrir jama’i untuk
menentukan pilihan.Prosedurnya: pertama,mengambil pendapat yang lebih maslahat
atau yang lebih kuat,kedua, sedapat mungkin melakukan pemilihan pendapat dengan
mempertimbangkan tingkatan sebagai berikut:
1. Pendapat yang disepakati oleh Asy-Syakhani (Imam Nawawi dan Rafi’i)
2. Pendapat yang dipegangi oleh imam Nawawi saja
3. Pendapat yang dipegangi Al-Rafi’i saja
4. Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama
5. Pendapat ulama yang pandai
6. Pendapat ulam yang paling wara’.
·
Apabila masalah atau pertanyaan
tidak terjawab sama sekali dalam kitab-kitab standar,langkah yang dilakukan
adalah Ilhaq yang dilakukan oleh ulam ahli segara kolektif atau jama’i.Ilhaq
dilakukan dengan memperhatikan mulhaq bih,mulhaq ilayh,wajh al ilhaq.
·
Apabila masih tidak ada
jawabannya sama sekali,maka langkah yang ditempuh adalah Istinbath secara
kolektif dengan prosedur bermahzab secara manhaji oleh para ahlinya.Istinbath
dilakukan secara jama’i dengan mempraktekkan kaidah ushul dan kaidah fikih.
4. DEWAN HISBAH PERSIS
Dewan Hisbah Persis merupakan suatu lembaga hokum dibawah naungan organisasi keagamaan persatuan Islam (persis). Thuhruq al-istinbath hokum islam dewan
hisbah persatuan Islam (Persis) ditetapkan dalam keputusan siding Dewan Hisbah Persis
XIV yang ditandatangani oleh ketua Persis KHE. Sar’an dan oleh sekretaris Persis H.Shiddiq Amin. Sidang ini diselenggarakan pada tanggal 8 Juni 1996 yang kemudian diterbitkan oleh pimpinan pusat persis Jl.Pajagalan No.14 Bandung.
PEDOMAN IJTIHAD DEWAN HISBAH PERSIS
Secara
umum, Pengambilan keputusan hukum Islam dewan Hisbah Persis dibedakan menjadi
tiga : pendahuluan, sumber hukum dan metode Istinbath hukum.
Pendahuluan
metodologi pengambilan keputusan (thuruq al-istinbath) hukum Islam berisi
tentang definisi (batasan) hukum secara bahasa dan istilah. Dalam metodologi
pengambilan keputusan hukum islam dikatakan bahwa hukum adalah menetapkan
sesuatu atas sesuatu yang lain atau mencegahnya. Disamping itu dalam
pendahuluan dijelaskan pula lima kategori hukum, yaitu ijab (wajib), nadb
(sunnah), tahrim (haram), karahah (makruh), dan ibadah (mubah atau kebolehan).
Pada bagian
kedua dijelaskan bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan As-sunnah. Pada
bagian ketiga, yaitu metode istinbath hukum terdiri atas :
·
Kaidah Ushuliya atau kaidah
bahasa
·
Cara-cara menyelesaikan nash yang
tampak bertentangan
·
Sebab-sebab terjadinya perbedaan
pendapat
·
Prinsip-prinsip dalam beristidlal
dengan Al-Qur’an
·
Prinsip-prinsip dalam beristidlal
dengan hadits
·
Masalah-masalah yang tidak
ditetapkan ketentuannya dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah,diselesaikan dengan
cara ijtihad jama’i (kolektif).
APLIKASI THURUQ AL ISTINBATH HUKUM DEWAN HISBAH :
MENGHAJIKAN ORANG YANG TELAH LANJUT USIA.
Ijtihad jama’i yang dilakukan oleh Dewan Hisbah ialah dengan cara diskusi, seminar, atau lokakarya. Hal ini terlihat dari pendahuluan setiap keputusan dewan hisbah yang memperhatikan makalah. Dalam pertimbangan keputusan tentang menghajikan
orang yang sudah lanjut usia dikatakan bahwa : a.Ibadah hanya diwajibkan kepada umat islam yang
mampu; b.Setiap manusia akan menerima balasan terhadap apa yang
diusahakannya sendiri; c.Berbuat baik kepada kedua orang tua hukumnya wajib; d.Hadits-hadits tentang melaksanakan
haji untuk orangtua yang lanjut usia, sakit dan wafat adalah shahih dari segi sanadnya; e.Hadits tentang melaksanakan
Haji untuk saudara/kerabat tidak ada kesepakatan tentang keshahihannya;
dan f.Hadits tentang melaksanakan
haji untuk orang lain yang bukan keluarga,
sama sekali tidak ditemukan haditsnya.
Setelah
mempertimbangkan dalil-dalil di atas dewan hisbah menetapkan bahwa: a.
Melaksanakan ibadah haji untuk orang lain (baik yang masih hidup maupun sudah
meninggal) terlarang; b.Seorang anak yang melaksanakan ibadah haji dengan
maksud menghajikan orang tuanya, terlarang (tidak boleh); dan c. Seorang anak
yang melaksanakan ibadah haji (untuk
dirinya sendiri) termasuk wujud perbutan baik terhadap orang tua (birul
alwalidayn).
Keputusan
dewan hisbah mengenai hukum menghajikan orang yang sudah lanjut usia dilakukan
setelah mempertimbangkan Al-Quran dan hadist. Ayat-ayat al-quran yang dijadikan
dasar adalah QS. Ali Imran:97, QS. Al Najm:39, dan QS. Luqman:14. Sedangkan
hadist yang dipertimbangkan oleh dewan hisbah adalah hadist-hadist tentang anak
yang melakukan ibadah haji untuk orang tua dan kerabatnya. Yang menarik dalam
keputusan tersebut adalah bahwa dewan hisbah berusaha mempertimbangkan kualitas
hadist yang digunakan.
Keputusan
dewan hisbah berupa pernyataan “tidak boleh” atau “terlarang” kelihatannya
merupakan keputusan yang tidak merujuk pada istilah teknis yang telah digunakan
dalam metode pengambilan keputusan hukumnya, yaitu ijab (wajib), nadb (sunnah),
tahrim (haram), karahat (makruh), ibahat (kebolehan). Paling tidak, kata
“terlarang” dan “tidak boleh” dapat direalisasikan dengan dua kemungkinan : pertama, kemungkinan hukumnya haram ; atau
kedua, kemungkinanm hukumnya makruh.
Keputusan
dewan hisbah tersebut “bercutat” pelaksanaan ada kata istitha’at (berkemampuan),
yakni ibadah haji diwajibkan kepada orang yang mampu melaksanakannya.
Mampu
melaksanakan ibadah haji mencakup kemampuan ekonomi dan
kemampuan fisik. Kemampuan ekonomi adalah berhubungan dengan bekal selama
melaksanakan ibadah haji, ongkos diperjalanan, dan keperluan-keperluan teknis
lainnya, seperti penginapan; dan kemampuan dalam artian fisik mencakup
kemampuan fisik dan kemampuan rohani. Oleh karena itu, dari segi keumuman kata
istitha’at, orang yang sudah lanjut usia tidak terkena perintah untuk
melaksanakan ibadah haji karena ia tidak memiliki kemampuan untuk
melaksanakannya dari segi kemampuan secara fisik.