A.
EMOSI
Apa yang
dimaksud dengan emositelah dipaparkan didepan. Seseorang yang mengalami emosi
pada umumnya tidak lagi memperhatikan keadaan sekitar, kurang dapat menguasai
diri. Oleh karena itu, emosi sering disebut dengan keadaan yang ditimbulkan
oleh situasi tertentu (khusus) dan emosi cenderung terjadi dalam kaitanya
dengan perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkir (avoidance) terhadap
sesuatu, dan perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi kejiwaan,
sehingga orang lain bias mengetahui bahwa seseorang sedang mengalami emosi.
a.
Teori-teori Emosi
§
Hubungan Emosi dengan
Gejala Kejasmaniaan
Bila seseorang mengalami emosi, pada individu itu
akan mengalami perubahan-perubahan kejasmanian. Keadaan tersebut digunakan
untuk kepentingan praktis, yaitu diciptakan lie detector (polygraph),
yaitu suatu alat yang digunakan dalam psikologi criminal atau psikologi
forensic, dan telah memberikan bantuan yang positif.
Adanya hubungan antara emosi dengan gejala
kejasmanian diantara para ahli tidak terdapat perbedaan. Yang menjadi silang
pendapat adalah mana yang menjadi sebab dan akibatnya. Hal ini kemudian
menimbulkan teori-teori yang berkaitan dengan emosi yang bertitik pijak
padahubungan emosi dengan gejala kejiwaan.
1.
Teori James-Lange
Teori ini mula-mula
dikemukan oleh James (American Psychologist), yang juga dikemukan oleh Lange
(Danish-physiologist), sehingga teori ini dikenal sebagai teori James-Lange. Menurut teori ini emosi merupakan akibat
atau hasil persepsi dari keadaan jasmani (felt emotion is the perception of
bodily states),orang sedih karena menangis, orang takut karena gemetar, dan
sebagainya. Teori ini juga sering disebut teori perifir dalam emosi atau juga
disebut Paradoks James. Oleh Peterson (1991) teori ini disebut teori dengan
pendekatan psikofisis. Sementara ahli mengadakan eksperimen-eksperimen untuk
menguji teori ini, antara lain Sherrington dan Cannon, yang pada umunya hasil
menunjukkan bahwa yang dikemukan James tidak tepat.
2.
Teori Cannon-Bard
Teori ini berpendapat bahwa emosi itu bergantung
pada aktivitas dari otak bagian bawah. Teori ini dikemukan oleh Cannon atas
dasar penelitian Bard. Teori ini berbeda atau justru berlawanan dengan teori
yang kemukan oleh James-Lange, yaitu bahwa emosi tidak bergantung pada gejala
kejiwaan (bodily states), atau reaksi
jasmani bukan merupakan dasar emosi, tetapi justru emosi bergantung pada
aktivitas otak atau aktivitas sentral. Karena itu, teori ini juga sering
disebut teori sentral dalam emosi. Oleh Peterson (1991) teori ini disebut
sebagai teori dengan pendekatan neurologis.
3.
Teori Schachter-Singer
Teori ini didasarkan
pendapat bahwa emosi merupakan the
interpretation of bodily arousal. Teori ini berpendapat bahwa emosi yang
dialami seseorang merupakan hasil interpretasi dari arousal atau stirre up
dari keadaan jasmani (bodily states).
Schachter dan Singer berpendapat
bahwa keadaan jasmani dari timbulnya emosi pada umumnya sama untuk sebagian
terbesar dari emosi yang dialami,dan apabila ada perbedaan fisiologis dalam
pola otonomik orang tidak akan mempersepsi hal ini. Karena perubahan jasmani
merupakan hal yang ambigius, teori
ini menyatakan bahwa tiap emosi dapat dirasakan dari stirred up kondisi jasmani dan individu akan memberikan
interpretasinya. Sering dikemukan bahwa emosi itu bersifat subjektif, karna
memang dalam mengadakan interpretasi terhadap keadaan jasmani berbeda dengan
satu orang dengan yang lain. Karena teori ini meneropong atas dasar
interpretasi, sementara para ahli menyebut teori ini sebagai teori kognitif
dalam emosi, misalnya yang dikemukan oleh Peterson (1991). Namun demikian
jangan dicampuradukan dengan teori kognitif yang lain, karena ada factor lain
seperti ingatan dalam proses kognitif. Karena itu oleh Valins disebut
kognitif fisiologi.
§
Teori Hubungan antar Emosi
Robert Plutchik mengajukan teori mengenai
diskripsi emosi yang terkait dengan emosi primer (primary emotion) dan hubungannya dengan yang lain. Menurut
Plutchik emosi itu berbeda dalam tiga dimensi, yaitu intensitas, kesamaan (similarity) dan polaritas atau
pertentangan (polarity). Intensitas,
similarity, dan polarity merupakan dimensi yang digunakan untuk mengadakan
hubungan emosi yang stu dengan yang lain. Misalnya, grief, sadness, persiveness merupakan dimensi intensitas, dan grief yang paling kuat. Grief dan escstary merupakan polaritas,
sedangkan Grief dan loathing
merupakan similaritas. Itensitas digambarkan kebawah, polaritas digambarkan
dengan arah berlawanan, sedangkan similaritas digambarkan yang berdekatan.
Seperti telah dipaparkan didepan, teori ini hanya mendiskripsikan emosi dan
kaitannya satu dengan yang lainnya.
§
Teori emosi berkaitan
dengan motivasi
Teori ini dikemukan oleh Leeper. Garis pemisah
antara emosi dan motivasi adalah sangat tipis. Misal takut, ini adalah emosi,
tetapi ini juga motif pendorong perilaku, karena bilaorang takut maka orang
akan terdorong berperilaku kearah tujuan tertentu (goal directed). Menurt
Lapeer, goal directed adalah diwarnai oleh emosi.
Tomkins mengemukan bahwa emosi itu menimbulkan
enersi untuk motivasi. Selanjutnya dikemukan bahwa motif atau dorongan hanya
memberikan informasi mengenai sementara kebutuhan. Misal dorongan memberitaukan
kepda kita bahwa makanan itu dibutuhkan, demikian juga air dan yang lainnya.
Berkaitan dengan dorongan ini adalah emosi, yang menimbulkan energy dorongan
atau drive, sehingga adanya motivational
power.
Disamping itu Tomkins juga mengemukan pendapat bahwa adanya 9 macam innate
emotions, berdasarkan tipe gerak dan ekspresi yang Nampak pada seseorang. Tiga
yang bersifat positif yaitu (1) interest atau excitement; (2) enjoyment atau
joy; (3) surpise atau startie. Yang enam bersifat negative, (1) distress atau
anguish; (2) fear atau terror; (3) shame atau humilitation; (4) contempt; (5)
disgust; dan (6) anger atau rage.
Berkaitan dengan adanya hubungan antara emosi dengan motivasi, maka ada
teori yang disebut sebagai teori arousal
(arousal theory). Teori ini adalah teori hubungan dan perilaku. Teori ini
sering juga disebut optimal level theory.
Pada teori dorongan asumsinya ialah organisasi mencari atau mengurangi
ketegangan, sehingga demikian organisasi itu mempertahankan gejolak atau
arousal itu dalam keadaan yang minimum, relative rendah.Namun pendapat kemudian
menyatakan bahwa keadaan ini tidak dapat dipertahankan karena kadang-kadang organisme
mencari untuk menaikkan level tension-nya atau arousalnya, sedangkan pada waktu
yang lain menurunkan tensionnya. Dengan kata lain, organism itu mempertahankan
gejolak atau arousal atau tension yang ada pada optimal level, jika tidak
terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.Misalnya hubungan secara teoritik
antara level dari aurosial dengan tingkatan efisien dalam permormance sesuatu
tugas.Apabila individu dalam tingkatan rendah (missal sangat lelah atau waktu
bangun tidur), performance-nya jelas tidak optimal karena perhatian pada tugas
tidak penuh. Sebaliknya, apabila tension-nya atau arousal-nya tinggi (dalam
keadaan nerves, atau takut) juga akan mengganggu dalam performance-nya karena
individu sulit mengadakan konsentrasi terhadap tugasnya. Karena itu antara
kedua keadaan yang ekstrim itu merupakan keadaan yang optimal, yang pada
umumnya merupakan arousal level yang baik untuk mengadakan performance terhadap
berbagai tugas.
§
Teori Kognitif mengenai
emosi
Teori ini dikemukan oleh Richard Lazarus dan
teman-teman sekerja, yang mengemukan teori tentang emosi yang menekankan pada
penafsiran atau pengertian mengenai informasi yang datang dari beberapa sumber.
Teori ini menyatakan bahwa emosi yang dialami itu merupakan hasil penafsiran
atau evaluasi mengenai informasi yang datang dari situasi lingkungan dan dari
dalam.Hasil penafsiran yang komplek dari informasi tersebut adalah emosi yang
dialami itu. Peran dari penafsiran penafsiran dalam emosi diteliti dalam
eksperimen, yaitu dengan mengadakan film tentang upacara adat dikalangan kaum
aborigin di Australia, yaitu yang berupa operasi alat genetal dari anak
laki-laki kurang lebih berumur 13-14tahun. Dalam penyajian film tersebut
disertai dengan bunyi yang traumatis, bunyi yang memberikan kesan denial track,
komentar yang bernada ilmiyah, dan ada yang tidak disertai bunyi atau
komentar.Dari eksperiment tersebut dapat dikemukan bahwa stress reaction adalah
yang denan bunyi traumatis, kemudian yang tanpa bunyi atau tanpa komentar ,
sedangkan yang terendah adalah yang bernada ilmiyah (intelectulization). Dengan
demikian dapat dikemukan bahwa bunyi yang traumatis menyebabkan subjek
mengadakan penafsiran yang berbeda terhadap stimulus yang sama. Konklusi dari
eksperiment ini ialah bahwa reaksi emosional yang tidak sama terhadap stimulus
yang sama terjadi karena penafsiran subjek yang tidak sama terhadap stimulus.
Disamping teori-teori tersebut
diatas masih ada teori yang dikemukan oleh Darwin mengenai emosi dalam
hubungannya dengan ekspresi muka(facial expression). Menurut Darwin orang-orang dengan latar
belakang kebudayaan yang berbeda menggunakan pola yang sama dalam pola gerak
dari facial muscles untuk mengatakn keadaan
emosional seseorang.Oleh karena itu, menurut Darwin pola ekspresi roman muka
adalah bersifat universal, dan oleh karenannya merupakan hal yang inherited
atau bawaan. Teori yang dikemukan oleh Darwin tersebut oleh Peterson disebut
sebagai teori dengan pendekatan evolusi.
0 komentar:
Posting Komentar