Laman

Jumat, 19 Oktober 2012

GEJALA EMOSI DALAM PSIKOLOGI


A.     EMOSI
Apa yang dimaksud dengan emositelah dipaparkan didepan. Seseorang yang mengalami emosi pada umumnya tidak lagi memperhatikan keadaan sekitar, kurang dapat menguasai diri. Oleh karena itu, emosi sering disebut dengan keadaan yang ditimbulkan oleh situasi tertentu (khusus) dan emosi cenderung terjadi dalam kaitanya dengan perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkir (avoidance) terhadap sesuatu, dan perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi kejiwaan, sehingga orang lain bias mengetahui bahwa seseorang sedang mengalami emosi.
a.       Teori-teori Emosi
§      Hubungan Emosi dengan Gejala Kejasmaniaan
Bila seseorang mengalami emosi, pada individu itu akan mengalami perubahan-perubahan kejasmanian. Keadaan tersebut digunakan untuk kepentingan praktis, yaitu diciptakan lie detector (polygraph), yaitu suatu alat yang digunakan dalam psikologi criminal atau psikologi forensic, dan telah memberikan bantuan yang positif.
Adanya hubungan antara emosi dengan gejala kejasmanian diantara para ahli tidak terdapat perbedaan. Yang menjadi silang pendapat adalah mana yang menjadi sebab dan akibatnya. Hal ini kemudian menimbulkan teori-teori yang berkaitan dengan emosi yang bertitik pijak padahubungan emosi dengan gejala kejiwaan.
1.      Teori James-Lange
Teori ini mula-mula dikemukan oleh James (American Psychologist), yang juga dikemukan oleh Lange (Danish-physiologist), sehingga teori ini dikenal sebagai teori James-Lange. Menurut teori ini emosi merupakan akibat atau hasil persepsi dari keadaan jasmani (felt emotion is the perception of bodily states),orang sedih karena menangis, orang takut karena gemetar, dan sebagainya. Teori ini juga sering disebut teori perifir dalam emosi atau juga disebut Paradoks James. Oleh Peterson (1991) teori ini disebut teori dengan pendekatan psikofisis. Sementara ahli mengadakan eksperimen-eksperimen untuk menguji teori ini, antara lain Sherrington dan Cannon, yang pada umunya hasil menunjukkan bahwa yang dikemukan James tidak tepat.

2.      Teori Cannon-Bard
Teori ini berpendapat bahwa emosi itu bergantung pada aktivitas dari otak bagian bawah. Teori ini dikemukan oleh Cannon atas dasar penelitian Bard. Teori ini berbeda atau justru berlawanan dengan teori yang kemukan oleh James-Lange, yaitu bahwa emosi tidak bergantung pada gejala kejiwaan (bodily states), atau reaksi jasmani bukan merupakan dasar emosi, tetapi justru emosi bergantung pada aktivitas otak atau aktivitas sentral. Karena itu, teori ini juga sering disebut teori sentral dalam emosi. Oleh Peterson (1991) teori ini disebut sebagai teori dengan pendekatan neurologis.
       
3.      Teori Schachter-Singer
Teori ini didasarkan pendapat bahwa emosi merupakan the interpretation of bodily arousal. Teori ini berpendapat bahwa emosi yang dialami seseorang merupakan hasil interpretasi dari arousal atau stirre up dari keadaan jasmani (bodily states). Schachter dan Singer berpendapat bahwa keadaan jasmani dari timbulnya emosi pada umumnya sama untuk sebagian terbesar dari emosi yang dialami,dan apabila ada perbedaan fisiologis dalam pola otonomik orang tidak akan mempersepsi hal ini. Karena perubahan jasmani merupakan hal yang ambigius, teori ini menyatakan bahwa tiap emosi dapat dirasakan dari stirred up kondisi jasmani dan individu akan memberikan interpretasinya. Sering dikemukan bahwa emosi itu bersifat subjektif, karna memang dalam mengadakan interpretasi terhadap keadaan jasmani berbeda dengan satu orang dengan yang lain. Karena teori ini meneropong atas dasar interpretasi, sementara para ahli menyebut teori ini sebagai teori kognitif dalam emosi, misalnya yang dikemukan oleh Peterson (1991). Namun demikian jangan dicampuradukan dengan teori kognitif yang lain, karena ada factor lain seperti ingatan dalam proses kognitif. Karena itu oleh Valins disebut kognitif fisiologi.

§      Teori Hubungan antar Emosi
Robert Plutchik mengajukan teori mengenai diskripsi emosi yang terkait dengan emosi primer (primary emotion) dan hubungannya dengan yang lain. Menurut Plutchik emosi itu berbeda dalam tiga dimensi, yaitu intensitas, kesamaan (similarity) dan polaritas atau pertentangan (polarity). Intensitas, similarity, dan polarity merupakan dimensi yang digunakan untuk mengadakan hubungan emosi yang stu dengan yang lain. Misalnya, grief, sadness, persiveness merupakan dimensi intensitas, dan grief yang paling kuat. Grief dan escstary merupakan polaritas, sedangkan Grief dan loathing merupakan similaritas. Itensitas digambarkan kebawah, polaritas digambarkan dengan arah berlawanan, sedangkan similaritas digambarkan yang berdekatan. Seperti telah dipaparkan didepan, teori ini hanya mendiskripsikan emosi dan kaitannya satu dengan yang lainnya.

§      Teori emosi berkaitan dengan motivasi
Teori ini dikemukan oleh Leeper. Garis pemisah antara emosi dan motivasi adalah sangat tipis. Misal takut, ini adalah emosi, tetapi ini juga motif pendorong perilaku, karena bilaorang takut maka orang akan terdorong berperilaku kearah tujuan tertentu (goal directed). Menurt Lapeer, goal directed adalah diwarnai oleh emosi.
Tomkins mengemukan bahwa emosi itu menimbulkan enersi untuk motivasi. Selanjutnya dikemukan bahwa motif atau dorongan hanya memberikan informasi mengenai sementara kebutuhan. Misal dorongan memberitaukan kepda kita bahwa makanan itu dibutuhkan, demikian juga air dan yang lainnya. Berkaitan dengan dorongan ini adalah emosi, yang menimbulkan energy dorongan atau drive, sehingga adanya motivational power.
Disamping itu Tomkins juga mengemukan pendapat bahwa adanya 9 macam innate emotions, berdasarkan tipe gerak dan ekspresi yang Nampak pada seseorang. Tiga yang bersifat positif yaitu (1) interest atau excitement; (2) enjoyment atau joy; (3) surpise atau startie. Yang enam bersifat negative, (1) distress atau anguish; (2) fear atau terror; (3) shame atau humilitation; (4) contempt; (5) disgust; dan (6) anger atau rage.
Berkaitan dengan adanya hubungan antara emosi dengan motivasi, maka ada teori yang disebut sebagai teori arousal (arousal theory). Teori ini adalah teori hubungan dan perilaku. Teori ini sering juga disebut optimal level theory. Pada teori dorongan asumsinya ialah organisasi mencari atau mengurangi ketegangan, sehingga demikian organisasi itu mempertahankan gejolak atau arousal itu dalam keadaan yang minimum, relative rendah.Namun pendapat kemudian menyatakan bahwa keadaan ini tidak dapat dipertahankan karena kadang-kadang organisme mencari untuk menaikkan level tension-nya atau arousalnya, sedangkan pada waktu yang lain menurunkan tensionnya. Dengan kata lain, organism itu mempertahankan gejolak atau arousal atau tension yang ada pada optimal level, jika tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.Misalnya hubungan secara teoritik antara level dari aurosial dengan tingkatan efisien dalam permormance sesuatu tugas.Apabila individu dalam tingkatan rendah (missal sangat lelah atau waktu bangun tidur), performance-nya jelas tidak optimal karena perhatian pada tugas tidak penuh. Sebaliknya, apabila tension-nya atau arousal-nya tinggi (dalam keadaan nerves, atau takut) juga akan mengganggu dalam performance-nya karena individu sulit mengadakan konsentrasi terhadap tugasnya. Karena itu antara kedua keadaan yang ekstrim itu merupakan keadaan yang optimal, yang pada umumnya merupakan arousal level yang baik untuk mengadakan performance terhadap berbagai tugas.

§      Teori Kognitif mengenai emosi
Teori ini dikemukan oleh Richard Lazarus dan teman-teman sekerja, yang mengemukan teori tentang emosi yang menekankan pada penafsiran atau pengertian mengenai informasi yang datang dari beberapa sumber. Teori ini menyatakan bahwa emosi yang dialami itu merupakan hasil penafsiran atau evaluasi mengenai informasi yang datang dari situasi lingkungan dan dari dalam.Hasil penafsiran yang komplek dari informasi tersebut adalah emosi yang dialami itu.  Peran dari penafsiran  penafsiran dalam emosi diteliti dalam eksperimen, yaitu dengan mengadakan film tentang upacara adat dikalangan kaum aborigin di Australia, yaitu yang berupa operasi alat genetal dari anak laki-laki kurang lebih berumur 13-14tahun. Dalam penyajian film tersebut disertai dengan bunyi yang traumatis, bunyi yang memberikan kesan denial track, komentar yang bernada ilmiyah, dan ada yang tidak disertai bunyi atau komentar.Dari eksperiment tersebut dapat dikemukan bahwa stress reaction adalah yang denan bunyi traumatis, kemudian yang tanpa bunyi atau tanpa komentar , sedangkan yang terendah adalah yang bernada ilmiyah (intelectulization). Dengan demikian dapat dikemukan bahwa bunyi yang traumatis menyebabkan subjek mengadakan penafsiran yang berbeda terhadap stimulus yang sama. Konklusi dari eksperiment ini ialah bahwa reaksi emosional yang tidak sama terhadap stimulus yang sama terjadi karena penafsiran subjek yang tidak sama terhadap stimulus.
Disamping  teori-teori tersebut diatas masih ada teori yang dikemukan oleh Darwin mengenai emosi dalam hubungannya dengan ekspresi muka(facial expression).  Menurut Darwin orang-orang dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda menggunakan pola yang sama dalam pola gerak dari facial muscles untuk mengatakn keadaan emosional seseorang.Oleh karena itu, menurut Darwin pola ekspresi roman muka adalah bersifat universal, dan oleh karenannya merupakan hal yang inherited atau bawaan. Teori yang dikemukan oleh Darwin tersebut oleh Peterson disebut sebagai teori dengan pendekatan evolusi.

0 komentar:

Posting Komentar