A.
Makna Kodifikasi
Dalam Bahasa
Latin, code atau codex berarti “a systematically arranged
and comprehensive collection of law. yang berarti himpunan peraturan hukum
secara lengkap yang disusun secara sistimatik. Maka kodifikasi (codification,
codificatie,) berarti perbuatan atau pekerjaan mengkodifikasikan atau
menghimpun hukum atau peraturan ke dalam suatu kitab hukum secara sistematik (to
systematize and arrange (laws and regulations) into a code).
Fockema Andreas mengartikan bahwa codificatie
adalah: “Het samensellen en invoeren van systimatisch ingerichte
wetboeken (codices) voor rechtsgebieden van enige omvang. (menyusun dan
membawa masuk secara teratur dan sistimatik ke dalam kitab undang-undang dalam
bidang hukum dengan ruang lingkup yang luas).
M.J. Koenen
dan J.B. Drewes mengartikan codificatie sebagai vereniging van
verschillende voorschriften tot een wet; het opstellen van een wetboek (menyatukan
berbagai peraturan ke dalam suatu undang-undang; menyusun kitab undang-undang).
Henry
Campbell Black mengartikan bahwa:codification adalah the process
of collecting aand arranging systematically, usually by subject, the laws of a
state or country, or the rules and regulations covering a particular area or
subject of law or practice.... The product may be called a code, revised code
or revised statute (proses mengumpulkan dan menyusun secara sistematik
hukum-hukum negara atau peraturan dan regulasi yang mencakup bidang tertentu
atau subyek (isi) hukum atau praktik, yang biasanya menurut subyek
(isi)nya.
Dari
berbagai kutipan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kodifikasi adalah proses menghimpun dan menyusun secara sistimatik
berbagai hukum, regulasi atau peraturan di bidang tertentu yang ditetapkan oleh
negara. Produk dari kegiatan
kodifikasi dapat berupa kitab undang-undang (wet, code) atau buku
hukum yang disebut dengan Kompilasi. Dan menurut perspektif hukum islam, kompilasi diartikan sebagai rangkuman
dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh
para ulama fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama
untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun kedalam satu himpunan. Himpunan
tersebut inilah yang dinamakan kompilasi.
B.
Latar Belakang Kodifikasi hukum Islam di Indonesia
Ketika Indonesia belum memiliki hukum
positif yang dirumuskan sebagai landasan rujukan mutlak pengadilan Agama terhadap suatu masalah, dalam prakteknya
Indonesia sebelumnya menggunakan kitab para ulama sebagai rujukannya, hal ini
tertuang pada surat edaran Biro peradilan Agama No. B/1/735 tanggal Februari
1958 yang merupakan tindak lanjut dari peraturan pemerintah no. 45 tahun 1957
tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syari’iyah . dalam surat edaran
tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan suatu kesatuan hukum
yang memeriksa dan memutus perkara maka para hakim Pengadilan Agama dianjurkan agar mempergunakan pedoman
kitab-kitab diantaranya adalah Al Bajuri, tuhfah, targhibul musytaq, syamsuri
lil faraidl, mughnil muhtaj. Namun pada realitanya menggunakan kitab-kitab
sebagai dasar keputusan peradilan agama menurut Bustanul Arifin akan membuka
peluang bagi terjadinya pembangkangan atau keluhan , ketika pihak yang kalah
perkara mempertanyakan pemakaian kitab /pendapat yang memang tidak
menguntungkanya itu, seraya menunjuk
kitab/pendapat yang menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahkan sering terjadi para hakim berselisih sesama mereka
tentang pemilihan kitab rujukan.
Sedangkan menurut
Yahya Harahap dalam makalahnya yang disajikan pada Diskusi Ilmiah Forum Pengkajian
Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 juni 1986 dan baru
dipublikasikan tahun 1988 menyatakan bahwa “ putusan Pengadilan harus
berdasarkan hukum, orang tidak boleh diadili berdasarkan buku atau pendapat
ahli atau ulama manapun”. Dan ia memberikan penilaian bahwa praktik penerapan
hukum yang semata-mata berdasarkan penemuan dan pengambilan hukum dari sumber
kitab-kitab, benar-benar tidak bisa dipertahankan. Praktek sperti ini
menurutnya mengarah kepada penegakan hukum menurut selera dan persepsi hakim.
Dari penjelasan diatas bisa kita tarik kesimpulan bahwa menggunakan kitab-kitab
para ulama sebagai dasar keputusan peradilan masih memiliki beberapa kelemahan.
Alasan lain yang
melatar belakangi kodifikasi hukum islam di Indonesia menurut Hasan Basri adalah
sering adanya keputusan peradilan Agama yang saling berbeda / tidak seragam
padahal kasusnya sama. Bahkan dapat dijadikan alat politik untuk memukul orang
lain yang dianggap tidak sepaham . dan menurutnya ini mengindikasikan bahwa
masalah fiqh yang semestinya membawa rahmat malah menjadi sebab perpecahan.
Dengan demikian yang kita rasakan bukan rahmat akan tetapi laknat, hal ini
menurut pendapatnya adalah karena umat islam salah paham dalam mendudukkan fiqh
disamping belum adanya kompilasi hukum islam tersebut.
Sedangkan menurut Masrani Basran pada muktamar
Muhammadiyah disolo tanggal 9 Desember 1985 mengemukakan beberapa hal yang
melatar belakangi diadakanya kodifikasi hukum islam ini adalah sebagai berikut
:
·
Ketidak jelasan persepsi tentang syari’ah dan fiqh. Dapat
dikatakan pula sebagai “kekacauan Persepsi” tentang arti dan ruang lingkup
pengertian syari’ah Islam, kadang-kadang disamakan syari’ah Islam dengan Fiqh,
bahkan adakalanya dalam penetapan persepsi dianggap sama pula dengan al’din.
·
Ketidak
seragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum islam
·
Ketidak jelasan
bagaimana melaksanakan syari’ah
Semua alasan - alasan yang dikemukakan
diatas, ini lebih mengacu kepada kekhawatiran para hakim agung dan ketua MUI
Hasan Basri pada masa itu, bahwa jika tidak adanya wujud hukum islam secara
konkrit dan positif di Negara kita ini. dikhawatirkan akan terjadi
kesimpangsiuran putusan masalah-masalah hukum islam di Idonesia, .maka dari itu
perlu adanya kodifikasi hukum islam yang seragam yang dapat dijadikan pedoman
dan hukum positif di Indonesia. Yang harus ditaati oleh warga Negara Indonesia
yang beragama Islam
0 komentar:
Posting Komentar