Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin
tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum
nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk
dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi
umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh
Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera
Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]-
bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang
berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan
2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus
memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum
Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan
atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam
sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu
membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali
tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul
gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam
Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka
mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di
Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi
yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan
perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto
menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali
partai Masyumi.
E. Hukum Islam di Era Reformasi
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri. Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
F. Hukum Islam Dalam Sistem Tatanan
Hukum Di Indonesia
Hukum islam merupakan bagian dari agama islam yang pelaksanaanya diatur berdasarkan syari’at islam. Syari’at sebagaimana dijelaskan pada lembaran awal, adalah mengatur mengatur mengenai hubungan manusia dengan tuhan dan manusia dengan sesame. Oleh karena hukum tidak mengenal pengaturan lahiriyah antara manusia dengan tuhan ( ibadat ) bila dilihat dari ilmu fiqh, maka yang dapat dimasukkan kedalam hokum islam itu adalah bagian muammalat dari syariat. Bahkan hanya sebagian keccil saja yang telah menjadi bagian dari hukum ( positif ) Indonesia. ( saidus Syahar, 1986 : 110 ). Muammalat menurut kitab-kitab fiqh yang ada meliputi :
1. Munakahat dengan segala aspek
yang terkait didalamnya
2. Fara’idh ( pembagian harta pusaka
/ waris )
3. Jinayat ( hukum pidana )
4. Jihad ( hukum perang )
5. Buyu’ ( hukum jual beli termasuk
didalamnya syarat dan rukunnya )
6. Syarikat ( perseroan )
7. Al-hilafah ( hukum tata Negara )
8.Aqdhiyah(hukumacara)(sulaimanrasyid,1976)
Diantara materi hukum islam diatas, yang telah masuk sebagian hukum Indonesia hanyalah bagian “ Munakhat ” untuk seluruh Indonesia, dan “ Fara’idh ” untuk sebagian Indonesia. Munakhat ini berlakunya berdasarkan UU No 22 tahun 1946 yang mengatur pendaftaran atau pencatatan nikah, talaq, rujuk dan disempurnakan UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sedangkan hukum faraidh berlaku berdasarkan UU No 45 tahun 1957, sedangakan diluar jawa dan Madura masih menggunakan hukum adat masing-masing. Perlu diketahui bahwa “ peradilan agama ” merupakan peradilan luar biasa yang tetap ada dan diakui hingga sekarang sesuaia dengan UU Darurat No 1 tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan peradilan sipil. Bagian hokum positif Indonesia, sebagaimana anatara lain dinyatakan oleh ordinasi dan peraturan pemerintah yang mengatur peradilan agama diatas dan yang ditunjuk oleh undang-undang pokok perkawinan terbaru ( UU No 1 Tahun 1974 ).
0 komentar:
Posting Komentar