Laman

Jumat, 19 Oktober 2012

Pengertian, Perkembangan dan Metode Burhani


1.      Pengertian Burhani
Secara bahasa kata burhan berarti argumentasi yang jelas dan terpilah untuk memperoleh kebenaran dan pengetahuan melalui proses berfikir. Burhani sangat menekankan proses dan peranan analisis rarasional (al-Qiyas,al-Jami’) untuk memperoleh pengetahuan sekaligus sebagai suatu kebenaran.
Dalam istilah logika, Burhani berarti aktivitas berfikir dalam rangka menetapkan kebenaran proposisi (qadyah) melalui metode penyimpulan (istintaj) dengan mengaitkan satu proposisi dengan proposisi lain yang diperoleh tanpa berfikir panjang yang kebenarannya terbukti secara aksiomatik. Sementara dalam pengertian umum burhani dapat diartikan sebagai aktifitas pikiran untuk menetapkan proposisi melalui metode penyimpulan.

2.      Perkembangan Burhani
Prinsip burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode analitik (tahlili), yaitu suatu cara berpikir yang didasarkan atas proposisi tertentu pada masa Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles, digunakan istilah logika dan ketika masuk pada khasanah pemikiran Islam berganti nama menjadi burhani. Cara berpikir analitik Aristoteles ini, masuk ke dalam pemikiran Islam pertama kali lewat program penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa pemerintahan Al-Makmun.
Sarjana pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode burhani adalah Al-Khindi. Namun, karena masih dominannya kaum bayani dan minimnya referensi maka metode burhani tidak begitu bergema. Metode burhani ini semakin berkembang dalam sistem pemikiran Islam Arab setelah masa Al-Rozi. Metode burhani akhirnya benar-benar mendapat tempat dalam sistem pemikiran Islam setelah masa Al-Farabi.
3.      Metode Burhani
Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan silogisme. Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu
a.       Mengetahui latar belakang dari penyusun premis.
b.      Adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan.
c.       Kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar.\
Al-Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan dan meyakinkan. Suatu premis bias dianggap meyakinkan bila memenuhi tiga syarat, yaitu
a.       Kepercayaan bahwa premis itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik.
b.      Kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain darinya.
c.       Kerpercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya.
Selain itu, burhani bisa juga menggunakan sebagian dari jenis-jenis pengetahuan indera dengan syarat bahwa objek-objek pengetahuan indera tersebut harus senantiasa sam (konstan) saat diamati, dimanapun dan kapanpun, dan tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya.
Derajat di bawah silogisme burhani adalah silogisme dialektika, yang banyak dipakai dalam penyusunan konsep teologis. Silogisme dialektika adalah bentuk silogisme yang tersusun atas premis-premis yang hanya bertaraf mendekati keyakinan, tidak sampai derajat meyakinkan seperti dalam silogisme demonstratif. Adapun materi premis silogisme dialektika berupa opini-opini yang secara umum di terima (masyhurat) tanpa diuji secara rasional. Karena itu nilai pengetahuan dari silogisme dialektika tidak bisa menyamai pengetahuan yang dihasilkan dari metode silogisme demonstratif. Ia berada di bawah pengetahuan demonstratif.
Epistemologi burhani digunakan untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa dasar teks wahyu suci yang memunculkan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan empiris; alam, sosial, dan humanities. Artinya, ilmu diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di laboratorium maupun di alam nyata, baik yang bersifat sosial maupun alam. Corak berpikir yang digunakan adalah induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil penelitian empiris.
Dalam menelaah epistemologi burhani tidak akan terlepas dari dua metodologi sebelumnya, yaitu epistemologi bayani dan irfani. Dari perpaduan ini muncul nalar aduktif, yakni mencoba memadukan model berpikir deduktif dan induktif antara hasil bacaan yang bersifat kontekstual terhadap nash dan hasil-hasil penelitian empiris, justru kelak melahirkan ilmu islam yang lengkap (komprehensif), luar biasa dan kelak dapat sebenarnya kedua epistemologi ini tidaklah jauh berbeda dengan epistemologi burhani. Perbedaan ini hanya faktor perbedaan episteme, yang mana episteme tersebut masih dibangun di atas nilai Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Perbedaan epistemologi burhani terletak pada :
1.      Sistem berpikir yang konstruksi epistimologinya dibangun di atas semangat akal dan logika dengan beberapa premis. Otoritas referensinya adalah Al-Qur’an, Al-Hadis dan pengalaman salaf.
2.      Epistimologi burhani sebagai metodologi yang representatif dalam mendidik ilmu pengetahuan dengan bersifat demonstratif.

1 komentar: