1. Pengertian Burhani
Secara bahasa kata
burhan berarti argumentasi yang jelas dan terpilah untuk memperoleh kebenaran
dan pengetahuan melalui proses berfikir. Burhani sangat menekankan proses dan
peranan analisis rarasional (al-Qiyas,al-Jami’) untuk memperoleh pengetahuan
sekaligus sebagai suatu kebenaran.
Dalam istilah
logika, Burhani berarti aktivitas berfikir dalam rangka menetapkan kebenaran
proposisi (qadyah) melalui metode penyimpulan (istintaj) dengan mengaitkan satu
proposisi dengan proposisi lain yang diperoleh tanpa berfikir panjang yang
kebenarannya terbukti secara aksiomatik. Sementara dalam pengertian umum
burhani dapat diartikan sebagai aktifitas pikiran untuk menetapkan proposisi
melalui metode penyimpulan.
2. Perkembangan Burhani
Prinsip burhani pertama kali
dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode analitik
(tahlili), yaitu suatu cara berpikir yang didasarkan atas proposisi tertentu
pada masa Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles, digunakan
istilah logika dan ketika masuk pada khasanah pemikiran Islam berganti nama
menjadi burhani. Cara berpikir
analitik Aristoteles ini, masuk ke dalam pemikiran Islam pertama kali lewat
program penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa
pemerintahan Al-Makmun.
Sarjana pertama
yang mengenalkan dan menggunakan metode burhani adalah Al-Khindi. Namun, karena
masih dominannya kaum bayani dan minimnya referensi maka metode burhani tidak
begitu bergema. Metode burhani ini semakin berkembang dalam sistem pemikiran
Islam Arab setelah masa Al-Rozi. Metode burhani akhirnya benar-benar mendapat
tempat dalam sistem pemikiran Islam setelah masa Al-Farabi.
3. Metode Burhani
Untuk mendapatkan
sebuah pengetahuan, burhani menggunakan silogisme. Mengikuti Aristoteles,
penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu
a.
Mengetahui latar belakang dari penyusun premis.
b.
Adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan.
c.
Kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar.\
Al-Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani
harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang
benar adalah premis yang memberi keyakinan dan meyakinkan. Suatu premis bias dianggap meyakinkan bila memenuhi
tiga syarat, yaitu
a.
Kepercayaan bahwa premis itu berada atau tidak dalam
kondisi spesifik.
b.
Kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan
sesuatu yang lain selain darinya.
c.
Kerpercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin
sebaliknya.
Selain itu, burhani bisa juga menggunakan sebagian dari
jenis-jenis pengetahuan indera dengan syarat bahwa objek-objek pengetahuan
indera tersebut harus senantiasa sam (konstan) saat diamati, dimanapun dan
kapanpun, dan tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya.
Derajat di bawah silogisme burhani adalah silogisme
dialektika, yang banyak dipakai dalam penyusunan konsep teologis. Silogisme
dialektika adalah bentuk silogisme yang tersusun atas premis-premis yang hanya
bertaraf mendekati keyakinan, tidak sampai derajat meyakinkan seperti dalam
silogisme demonstratif. Adapun materi premis silogisme dialektika berupa
opini-opini yang secara umum di terima (masyhurat) tanpa diuji secara rasional.
Karena itu nilai pengetahuan dari silogisme dialektika tidak bisa menyamai
pengetahuan yang dihasilkan dari metode silogisme demonstratif. Ia berada di
bawah pengetahuan demonstratif.
Epistemologi burhani digunakan untuk mengukur benar atau
tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia
berupa pengalaman dan akal tanpa dasar teks wahyu suci yang memunculkan
peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan
empiris; alam, sosial, dan humanities. Artinya, ilmu diperoleh sebagai hasil
penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di laboratorium maupun di
alam nyata, baik yang bersifat sosial maupun alam. Corak berpikir yang
digunakan adalah induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil penelitian
empiris.
Dalam
menelaah epistemologi burhani tidak akan terlepas dari dua metodologi
sebelumnya, yaitu epistemologi bayani dan irfani. Dari perpaduan ini muncul
nalar aduktif, yakni mencoba memadukan model berpikir deduktif dan induktif
antara hasil bacaan yang bersifat kontekstual terhadap nash dan hasil-hasil
penelitian empiris, justru kelak melahirkan ilmu islam yang lengkap
(komprehensif), luar biasa dan kelak dapat sebenarnya kedua epistemologi ini
tidaklah jauh berbeda dengan epistemologi burhani. Perbedaan ini hanya faktor
perbedaan episteme, yang mana episteme tersebut masih dibangun di atas nilai
Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Perbedaan
epistemologi burhani terletak pada :
1. Sistem berpikir yang konstruksi
epistimologinya dibangun di atas semangat akal dan logika dengan beberapa
premis. Otoritas referensinya adalah Al-Qur’an, Al-Hadis dan pengalaman salaf.
2. Epistimologi burhani sebagai metodologi
yang representatif dalam mendidik ilmu pengetahuan dengan bersifat
demonstratif.
Terimakasih, insyaallah bermanfaat
BalasHapus