Islam pada
Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal
penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran
Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal
dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki
peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah
Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan
Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga
mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu
saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum
Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat
menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan
penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan, Kaitannya
dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak
VOC, yaitu :
1. Dalam
Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum
kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
2. Adanya upaya
kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat.
Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan
Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai
wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang,
misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari
al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding
Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang
peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali.
Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun
(1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia
Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan
kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Bila ingin disimpulkan, maka upaya
pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara
kronologis adalah sebagai berikut :
Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck
Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi
untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa
kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat
setempat). Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2
Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement),
yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama
Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain
oleh sesuatu ordonasi. Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga
menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun
1942.
B. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
B. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap
melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia.
Diantaranya adalah:
- Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
- Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
- Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa
Indonesia sendiri.
- Mengizinkan berdirinya ormas
Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
- Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
- Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
- Berupaya
memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan
Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944
untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. - Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
- Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka. Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam.
0 komentar:
Posting Komentar