Laman

Jumat, 19 Oktober 2012

Tokoh Hukum Islam


1.       TEUNGKU MUHAMMAD HASBI ASY-SYIDDIEQY
a.       Riwayat Teungku Muhammad Hasbi Asy-sYiddieqy
Muhammad hasbi di lahirkan pada tanggal 10 maret 1904 M di Lhokseumawe, aceh Utara. Ibunya bernama Tengku Amrah, putri Tengku Abdul Aziz, pemangku jabatan Qadli Chik Maharaja Mangkubumi. Ayahnya bernama Al-Haj Tengku Muhammad Husaen bin Muhammad Su’ud. Hasbi adalah keturunan ke 37 dari Abu Bakar Ash-Siddiq, oleh jkarena itulah sejak tahun 1952 M, atas saran Syaikh Muhammad bin Salim Ash-Shiddiq Al-Kalali seorang ulama berdarah arab yang mukim di aceh, hasbi menggunakan sebutan ash-Siddiqi di belakang namanya sebagai nama keluarga.
Hasbi telah menjadi piatu sejak umur 6 tahun, karena ibunya wafat pada tahun 1910 M. Akhirnya beliau diasuh oleh Tengku Syamsiyah bibinya sendiri yang tidak berputra, namun baru 2 tahun tinggal di sana tepatnya tahun 1912 tengku Syamsiyah telah di panggil kehadirat Illahi. Sepeninggal Tengku Syamsiyah, Hasbi memilih tinggal di rumah kakaknya bernama Tengku maneh. Hasbi menikah pada usia 19 tahun dengan Siti Khadidjah, namun pernikahan tersebut tidak berlangsung lama, karena istrinya meninggal ketika melahirkan anak pertama, tidak lama kemudian anaknya yang di lahirkan tersebut meninggal menyusul ibunya. Kemudian beliau menikah lagi dengan sepupunya bernama Tengku Nyak Asiyah. Dengan Tengku Nyak asiyah inilah Hasbi mengarungi kehidupannya hingga akhir hayatnya. Beliau meninggal pada tanggal 9 desember 1975 di Jakarta.
Karya tulis hasbi yang pertama adalah dalam bentuk booklet yang berjudul Penoetoep Moeloet, selain itu banyak sekali karya-karya beliau dalam bentuk buku baik dalam bidang tafsir, hadits, maupun fiqih antara lain :  Al-Islam, Pedoman Shalat, Pedoman Zakat, Tafsir an-Nur, Mutiara Hadits, Koleksi Hadits hukum, kitab ibadah , pengantar ilmu fiqh, pengantar fiqh mu’amalah, falsafah hukum islam, pedoman haji  dan masih banyak yang lainnya,
Dalil dalil yang digunakan hasbi:
1.       Al-Qur’an
Sama seperti ulama yang lain, hasbi menempatkan al-Qur’an sebagai sumber utamadalam menetapkan hukum islam.
2.       As-Sunnah
3.       Ijma
Menurut hasbi Ijma’ shahabi dan ulama salaf mutaqaddimin adalah ijma’ yang yang sah dan jelas. Sementara untuk ijma’ ulama mutaakhiri perlu diteliti keabsahannya, sebab seringkali apa yang dikatakan hasil ijma’ para ulama mutaakhirin hanyalah ijma’ dikalangan ulama madzab tertentu saja.
Selanjutnya menurut habsi untuk menghindari perbedaan faham tentang ijma’ perlu dikembalikan pada pengertian ijma’ kepada makna harfiahnya seperti yang dipahami pada awal islam. Ijma’ menurut hasbi adalah hasil musyawarah bulat mufakat anggota Ahl-Hali wa al-‘aqdi’
1.       dalam menempuh perjalanan karier dan hidupnya serta mewarnaiAl-Qiyas dan ar-ra’yu
2.       Al-Urf
b.      Pemikiran
Sebagai ulama kontemporer, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy memiliki pandangan tersendiri mengenai syariat Islam. Ia berpandangan, syariat Islam memiliki sifat dinamis dan elastis, sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks sosial budaya yang ada. Ruang lingkupnya mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik hubungan sesama manusia maupun dengan Tuhan. Kemudian, syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT. tersebut, dikaji dan dipahami umat Islam melalui metode ijtihad untuk menyesuaikan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Hasil ijtihad ini kemudian melahirkan banyak kitab fiqh. Penulis kitab-kitab fiqh tersebut dikenal sebagai imam-imam mujtahid, pendiri mazhab yang empat, yaitu Abu Hanifah, Malik, asya-Syafii dan Ahmad Hanbal.
Akan tetapi, menurut Hasbi ash-Shiddieqy, banyak di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia, belum bisa membedakan antara syariat Islam yang langsung dari Allah SWT., dan hukum-hukum fiqh hasil ijtihad para imam mazhab. Selama ini, sebagian umat Islam cenderung menganggap fiqh sebagai syariat yang absolut (pasti). Akibatnya, kitab-kitab fiqh imam mazhab tersebut dijadikan sebagai salah satu sumber syariat yang pokok dalam kehidupan sehari-hari. Padahal pendapat imam mazhab tersebut, masih perlu diteliti dan dikaji ulang dengan konteks kekinian, sebab hasil ijtihad mereka tentu tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosio-kultural serta lingkungan geografis mereka pada waktu itu.
Dalam konteks keindonesiaan, Hasbi ash-Shiddieqy melihat bahwa fiqh yang dianut masyarakat Islam Indonesia banyak yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Kebanyakan dari mereka cenderung memaksakan pemberlakuan fiqh imam-imam mazhab tersebut. Untuk itu, sebagai alternarif terhadap sikap tersebut, ia mengajukan gagasan perumusan kembali fiqh Islam yang sesuai dengan kepribadian masyarakat Indonesia. Menurutnya, umat Islam harus mampu menciptakan hukum fiqh yang sesuai dengan latar belakang sosiokultural masyarakat Indonesia, tanpa harus meninggalkan hasil ijtihad ulama masa lalu. Justru, hasil ijtihad tersebut harus diteliti, dikaji dan dipelajari secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatik. Dengan demikian, ijtihad imam mazhab manapun, jika sesuai dan relevan dengan situasi masyarakat Indonesia, tentu dapat diterima dan diterapkan.
Untuk mewujudkan usaha ini, maka para ulama dituntut mengembangkan dan menggalakkan ijtihad. Oleh karena itu, Hasbi ash-Shiddieqy menolak pandangan, pintu ijtihad sudah tertutup, karena ijtihad merupakan suatu kebutuhan yang terus berlanjut sampai akhir zaman. Menurutnya, untuk mewujudkan fiqh Islam yang berwawasan keindonesiaan, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan. Pertama, ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum produk imam mazhab masa lalu, sehingga dapat dipilih pendapat mereka yang masih cocok untuk diterapkan di masyarakat kita sekarang ini. Kedua, ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum yang semata-mata didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat di mana hukum itu berkembang. Menurutnya, hukum ini bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman dan perkembangan masyarakat. Ketiga, ijtihad dengan mencari hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah kontemporer yang timbul akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti transplantasi organ tubuh, bank, asuransi, air susu ibu, dan inseminasi buatan.
Kompleksnya permasalahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan peradaban, menyebabkan pendekatan yang harus dilakukan untuk mengatasinya tidak bisa pada bidang tertentu saja. Permasalahan ekonomi, umpamanya, tentu akan berdampak pada aspek-aspek lain. Oleh karena itu, menurut Hasbi ash-Shiddieqy, ijtihad tidak dapat terlaksana dengan efektif jika dilakukan secara individual, maka ia kemudian menawarkan gagasan ijtihad jama‘i (ijtihad kolektif). Para anggotanya tidak hanya dari kalangan ulama, tetapi juga dari berbagai kalangan ilmuwan muslim lainnya, seperti ekonom, dokter, budayawan, dan politikus yang mempunyai visi dan wawasan yang tajam terhadap permasalahan umat Islam. Melalui ijtihad kolektif ini, diharapkan umat Islam Indonesia dapat merumuskan sendiri fiqh yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Rumusan fiqh tersebut tidak harus terikat pada salah satu mazhab, tetapi penggabungan beberapa pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Menurutnya, hukum yang baik adalah yang mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, adat-istiadat, dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan. Hasbi ash-Shiddieqy bahkan menegaskan bahwa dalam sejarahnya, banyak kitab fiqh yang ditulis ulama yang mengacu pada adat-istiadat (‘urf) suatu daerah. Sebagai contoh, pendapat Imam asy-Syafii yang berubah seiring dengan perpindahannya dari Irak ke Mesir. Ketika masih di Irak, ia memiliki beberapa pendapat yang sesuai dengan kondisi sosio-kultural Irak saat itu, yang kemudian dikenal dengan sebutan qaul qadim (pendapat lama). Ketika ia pindah ke Mesir dengan kondisi sosio-kultural yang baru, ia mengubah beberapa pendapatnya yang pernah ia pegang selama di Irak, sehingga muncul pendapat baru, yang kemudian disebut dengan qaul jadid (pendapat baru). Dengan demikian, ijtihad harus terus dikembangkan, tidak boleh ditutup.


2.       PROF. MR DR Hazairin
a.       Riwayat Prof. MR DR Hazairin
Hazairin merupakan seorang ahli hukum Islam sekaligus hukum adat pertama dari kalangan putra Indonesia, ia termasuk salah seorang nasionalis dan intelektual muslim Indonesia yang berpendidikan Barat (Belanda). Nama lengkap Hazairin adalah Prof. Dr. Hazairin Gelar Pangeran Alamsyah Harahap, SH.14 Gelar kehormatan akademik adalah “Profesor” diberikan oleh Senat Guru Besar Universitas Indonesia atas prestasinya di kedua bidang hukum yakni hukum Islam dan hukum Adat, dengan keahlian Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, penganugerahan Profesor diberikan padanya tahun 1952.15 sedangkan gelar “Gelar Pangeran Alamsyah Harahap” diberikan atas jasanya yang peduli terhadap adat istiadat Tapanuli Selatan, ketika ia ditugaskan pemerintah Hindia Belanda di Pengadilan Negeri Padangsidempuan dengan tugas tambahan sebagai peneliti hukum adat disana.16 Bukti lain dari keperdulian terhadap adat istiadat Tapanuli Selatan ini dituangkan dalam karyanya seperti: De Redjang (disertasi doktornya, 1936), De Gevolgen van de Huwelijksontbiding in Zuid Tapanuli (Akibat Perceraian Perkawinan di Tapanuli Selatan, 1941), dan Reorganisatie van het Rechtswesen in Zuid Tapanulis (Reorganisasi Hukum di Tapanuli Selatan). Hazairin di lahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tangggal 28 Nopember 1906.
Hazairin berketurunan atau berdarah Persia. Ayahnya bernama Zakaria Bahar, seorang guru, berasal dari Bengkulu. Kakeknya bernama Ahmad Bakar, seorang mubaligh terkenal pada zamannya. Ibunya berasal dari Minangkabau, etnis yang terkenal taat pada ajaran agama Islam. Itulah sebabnya sejak kecil Hazairin tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan bimbingan keagamaan, terutama dari kakeknya sendiri. Pendidikan agama inilah yang membentuk sikap keagamaanya yang demikian kuat pemikirannya meskipun secara formal ia banyak menuntut ilmu di lembaga pendidikan Hindia Belanda.18
 Pendidikan formal Hazairin, pertama di HIS (Hollands Inlandsche School) di Bengkuu dan tamat pada 1920; lalu melanjutkan pendidikan di MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Padang dan tamat pada 1924; kemudian meneruskan ke AMS (Algemene Middlebare School) di Bandung dan tamat pada 1927; berikutnya di RHS (Rechtkundige Hoogeschool/Sekolah Tinggi Hukum ), jurusan hukum adat di Batavia (kini, Jakarta) hingga mendapat gelar Mr. (Meester in de Rechten) pada tahun 1935. setahhun kemudian ia memperoleh gelar doktor dengan disertasi berjudul De Redjang (mengenai adat istiadat Rejang di Bengkulu).19 Di samping belajar pendidikan umum, Hazairin juga belajar pendidikan agama dan bahasa Arab, terutama dari kakeknya. Untuk memahami lebih lanjut ajaran agama Islam ia belajar sendiri. Ia menguasai bahasa Belanda, Inggeris, dan Perancis secara aktif. Ia juga menguasai bahasa Arab, Jerman, dan Latin secara pasif.20 Karier Hazairin di Indonesia telah ia tekuni dalam beberapa bidang profesi, misalanya bidang pendidikan, bidang birokrasi dan bidang politik, hal ini mencerminkan kesibukan seseorang yang mengabdi pada kemajuan bangsa Indonesia.
 Hazairin termasuk penulis yang produktif, setidaknya mewariskan tujuh belas (17) karya. Di antara karya Hazairin adalah dalam bidang hukum seperti: De Redjang (disertasi doktornya, 1936), De Gevolgen van de Huwelijksontbiding in Zuid Tapanuli (Akibat Perceraian Perkawinan di Tapanuli Selatan, 1941), dan Reorganisatie van het Rechtswesen in Zuid Tapanulis (Reorganisasi Hukum di Tapanuli Selatan). Dalam hukum Islam dan hukum adat, yaitu: Pergolakan Penyesuaian Adat kepada Hukum Islam (1952), Hukum Kekeluargaa Nasional 1962), Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al Qur’an dan Hadits (1958), Hendak Ke Mana Hukum Islam (1960), Hadits Kewarisan dan Sistem Bilateral, Indonesia Satu Masjid, dan Perdebatan dalam Seminar Hukum Nasional tentang Faraidl. Gagasan dalam bidang hukum pidana Islam dan keinginan untuk berlakunya hukum pidana Islam di Indonesia, dapat di lihat pada: Hukum Pidana Islam Ditinjau dari Segi-segi, Dasar-dasar, dan Asas-asas Tata Hukum Nasional, Demokrasi Pancasila (1970), Negara Tanpa Penjara.25 Buku yang diterbitkan seperti: Tujuh Serangaki tentang Hukum (1973), merupakan kumpulan tulisannya, yaitu: Negara Tanpa Penjara, Sekelumit Persangkut Pautan Hukum Adat, Fungsi dan Tujuan Pembinaan Hukum dalam Negara RI yang Demokrasi dan Berdasarkan Hukum, Muhammad dan Hukum, Kesusilan dan Hukum, Hukum Baru di Indonesia, dan Ilmu Pengetahuan Islam dan Masyarakat. Karya yang terakhir adalah Tinjauan mengenai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.26
b.      Pemikiran Hazairin
Hazairin seorang pemikir yang dikenal dalam bidang hukum Islam dan hukum Adat telah mengeluarkan pemikirannya tentang pelaksanan hukum Islam dan hukum Adat yang berlaku di Indonesia, dengan salah satu teorinya yang terkenal yaitu teori teori hukum kewarisan bilateral” dalam hukum kewarisan Islam. ia menulis seperti: “Jika telah kita insafi bahwa Qur’an anti clan, tidak menyukai sistim matrilineal27 dan patrilineal28, karena sistim-sistim itu mengadakan syarat exogami29 bagi perkawinan, maka satu-satunya conclusi yang dapat ditarik ialah bahwa Qur’an via ayat 24 An-Nisa’ itu menghendaki sebagai keredaan Tuhan suatu bentuk masyarakat yang bilateral dimana orang tidak dapat lagi mengadakan syarat exogami.
Dalam hubungan ini maka tidak sesuai lagi bunyinya, manakala Ahlusunnah Wal Jamaa’ah membedakan usbah dan yang bukan ‘usbah, umpamanya dalam lapangan kewarisan membedakan antara ‘asabat dengan pecahannya binafsihi30, bi’ghairi31 dan ma’a ghairi32 di satu pihak dan dzawu’larham di lain pihak, dalam menyalurkan sistim kewarisan menurut Qur’an, yaitu kewarisan yang berpatok kepada fara’id dalam suatu sistim model bilateral dan bukan model patrilineal. Dzawu’larham menurut Ahlussunnah Wal-Jama’ah mungkin mengenai seorang perempuan dalam usbahnya di pewaris, tetapi umumnya mengenai orang-orang dari lain-lain ‘usbah yaitu ‘usbah pihak suami anak perempuannya atau ‘usbah pihak ayah dari ibunya, pihak-pihak mana dapat kita bandingkan dengan pihak anak boru dan pihak mora bagi orang Batak ditinjau dari kedudukan suatu kahanggi. ‘Usbah dan ‘asbat dalam semua perinciannya adalah bentuk-bentuk kekeluargaan patrilineal yang berlawanan dengan bentuk bilateral.”33 Hazairin berpendapat bahwa pada hakikatnya sistem kewarisan yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah sistem kewarisan yang bercorak bilateral (orangtua34), seperti dzul fara’idh,35 dzul qarabat,36 dan mawali37.38 Berlainan dengan rumusan ahli fikih khusunya Madzhab Syafi’i dan Syi’ah yang menjelaskan bahwa sistem kewarisannya bersifat patrilinial yaitu dzul fara’id, ashabah39 dan dzul arham.
Tiga landasan teologis normatif yang dijadikan Hazairin yaitu bahwa sistem kekeluargaan yang diinginkan al-Qur’ân adalah sistem bilateral, antara lain: Pertama, apabila surat an-Nisâ ayat 23 dan 24 diperhatikan, akan ditemukan adanya keizinan untuk saling kawin antara orang-orang yang bersaudara sepupu. Fakta ini menunjukkan bahwa al-Qur’ân cenderung kepada sistem kekeluargaan yang bilateral. Kedua, surat an-Nisâ’ ayat 11 yang menjelaskan bahwa semua anak baik laki-laki maupun perempuan menjadi ahli waris bagi orang tuanya. Ini merupakan sistem bilateral, karena dalam sistem patrilineal pada prinsipnya hanya anak lakilaki yang berhak mewarisi begitu juga pada sistem matrilineal, hanya anak perempuan yang berhak. Ketiga, surat an-Nisâ’ ayat 12 dan 176 menjadikan saudara bagi semua jenis saudara (seayah dan seibu) sebagai ahli waris.

0 komentar:

Posting Komentar