1.
TEUNGKU
MUHAMMAD HASBI ASY-SYIDDIEQY
a.
Riwayat
Teungku Muhammad Hasbi Asy-sYiddieqy
Muhammad hasbi di lahirkan pada tanggal 10 maret 1904 M di Lhokseumawe,
aceh Utara. Ibunya bernama Tengku Amrah, putri Tengku Abdul Aziz, pemangku
jabatan Qadli Chik Maharaja Mangkubumi. Ayahnya bernama Al-Haj Tengku Muhammad
Husaen bin Muhammad Su’ud. Hasbi adalah keturunan ke 37 dari Abu Bakar
Ash-Siddiq, oleh jkarena itulah sejak tahun 1952 M, atas saran Syaikh Muhammad
bin Salim Ash-Shiddiq Al-Kalali seorang ulama berdarah arab yang mukim di aceh,
hasbi menggunakan sebutan ash-Siddiqi di belakang namanya sebagai nama
keluarga.
Hasbi telah menjadi piatu sejak umur 6 tahun, karena ibunya wafat pada
tahun 1910 M. Akhirnya beliau diasuh oleh Tengku Syamsiyah bibinya sendiri yang
tidak berputra, namun baru 2 tahun tinggal di sana tepatnya tahun 1912 tengku
Syamsiyah telah di panggil kehadirat Illahi. Sepeninggal Tengku Syamsiyah,
Hasbi memilih tinggal di rumah kakaknya bernama Tengku maneh. Hasbi menikah
pada usia 19 tahun dengan Siti Khadidjah, namun pernikahan tersebut tidak
berlangsung lama, karena istrinya meninggal ketika melahirkan anak pertama,
tidak lama kemudian anaknya yang di lahirkan tersebut meninggal menyusul
ibunya. Kemudian beliau menikah lagi dengan sepupunya bernama Tengku Nyak
Asiyah. Dengan Tengku Nyak asiyah inilah Hasbi mengarungi kehidupannya hingga
akhir hayatnya. Beliau meninggal pada tanggal 9 desember 1975 di Jakarta.
Karya tulis hasbi yang pertama adalah dalam bentuk booklet yang
berjudul Penoetoep Moeloet, selain itu banyak sekali karya-karya beliau dalam
bentuk buku baik dalam bidang tafsir, hadits, maupun fiqih antara lain : Al-Islam, Pedoman Shalat, Pedoman Zakat,
Tafsir an-Nur, Mutiara Hadits, Koleksi Hadits hukum, kitab ibadah , pengantar
ilmu fiqh, pengantar fiqh mu’amalah, falsafah hukum islam, pedoman haji dan masih banyak yang lainnya,
Dalil
dalil yang digunakan hasbi:
1.
Al-Qur’an
Sama seperti ulama yang lain, hasbi
menempatkan al-Qur’an sebagai sumber utamadalam menetapkan hukum islam.
2.
As-Sunnah
3.
Ijma
Menurut hasbi Ijma’ shahabi dan ulama
salaf mutaqaddimin adalah ijma’ yang yang sah dan jelas. Sementara untuk ijma’
ulama mutaakhiri perlu diteliti keabsahannya, sebab seringkali apa yang
dikatakan hasil ijma’ para ulama mutaakhirin hanyalah ijma’ dikalangan ulama
madzab tertentu saja.
Selanjutnya menurut habsi untuk
menghindari perbedaan faham tentang ijma’ perlu dikembalikan pada pengertian
ijma’ kepada makna harfiahnya seperti yang dipahami pada awal islam. Ijma’
menurut hasbi adalah hasil musyawarah bulat mufakat anggota Ahl-Hali wa
al-‘aqdi’
1.
dalam menempuh perjalanan karier dan
hidupnya serta mewarnaiAl-Qiyas dan ar-ra’yu
2.
Al-Urf
b.
Pemikiran
Sebagai ulama
kontemporer, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy memiliki pandangan tersendiri mengenai
syariat Islam. Ia berpandangan, syariat Islam memiliki sifat dinamis dan
elastis, sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks
sosial budaya yang ada. Ruang lingkupnya mencakup segala aspek kehidupan
manusia, baik hubungan sesama manusia maupun dengan Tuhan. Kemudian, syariat
Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT. tersebut, dikaji dan dipahami umat
Islam melalui metode ijtihad untuk menyesuaikan perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat. Hasil ijtihad ini kemudian melahirkan banyak kitab fiqh. Penulis
kitab-kitab fiqh tersebut dikenal sebagai imam-imam mujtahid, pendiri mazhab
yang empat, yaitu Abu Hanifah, Malik, asya-Syafii dan Ahmad Hanbal.
Akan tetapi, menurut
Hasbi ash-Shiddieqy, banyak di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia,
belum bisa membedakan antara syariat Islam yang langsung dari Allah SWT., dan
hukum-hukum fiqh hasil ijtihad para imam mazhab. Selama ini, sebagian umat
Islam cenderung menganggap fiqh sebagai syariat yang absolut (pasti).
Akibatnya, kitab-kitab fiqh imam mazhab tersebut dijadikan sebagai salah satu
sumber syariat yang pokok dalam kehidupan sehari-hari. Padahal pendapat imam
mazhab tersebut, masih perlu diteliti dan dikaji ulang dengan konteks kekinian,
sebab hasil ijtihad mereka tentu tidak terlepas dari situasi dan kondisi
sosio-kultural serta lingkungan geografis mereka pada waktu itu.
Dalam konteks keindonesiaan,
Hasbi ash-Shiddieqy melihat bahwa fiqh yang dianut masyarakat Islam Indonesia
banyak yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Kebanyakan dari
mereka cenderung memaksakan pemberlakuan fiqh imam-imam mazhab tersebut. Untuk
itu, sebagai alternarif terhadap sikap tersebut, ia mengajukan gagasan
perumusan kembali fiqh Islam yang sesuai dengan kepribadian masyarakat
Indonesia. Menurutnya, umat Islam harus mampu menciptakan hukum fiqh yang
sesuai dengan latar belakang sosiokultural masyarakat Indonesia, tanpa harus
meninggalkan hasil ijtihad ulama masa lalu. Justru, hasil ijtihad tersebut
harus diteliti, dikaji dan dipelajari secara bebas, kritis dan terlepas dari
sikap fanatik. Dengan demikian, ijtihad imam mazhab manapun, jika sesuai dan relevan
dengan situasi masyarakat Indonesia, tentu dapat diterima dan diterapkan.
Untuk mewujudkan
usaha ini, maka para ulama dituntut mengembangkan dan menggalakkan ijtihad.
Oleh karena itu, Hasbi ash-Shiddieqy menolak pandangan, pintu ijtihad sudah
tertutup, karena ijtihad merupakan suatu kebutuhan yang terus berlanjut sampai
akhir zaman. Menurutnya, untuk mewujudkan fiqh Islam yang berwawasan
keindonesiaan, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan. Pertama, ijtihad
dengan mengklasifikasikan hukum-hukum produk imam mazhab masa lalu, sehingga
dapat dipilih pendapat mereka yang masih cocok untuk diterapkan di masyarakat
kita sekarang ini. Kedua, ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum yang
semata-mata didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat di mana hukum
itu berkembang. Menurutnya, hukum ini bisa berubah sesuai dengan perubahan
zaman dan perkembangan masyarakat. Ketiga, ijtihad dengan mencari hukum-hukum
yang berkaitan dengan masalah-masalah kontemporer yang timbul akibat dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti transplantasi organ tubuh,
bank, asuransi, air susu ibu, dan inseminasi buatan.
Kompleksnya
permasalahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan peradaban, menyebabkan
pendekatan yang harus dilakukan untuk mengatasinya tidak bisa pada bidang
tertentu saja. Permasalahan ekonomi, umpamanya, tentu akan berdampak pada
aspek-aspek lain. Oleh karena itu, menurut Hasbi ash-Shiddieqy, ijtihad tidak
dapat terlaksana dengan efektif jika dilakukan secara individual, maka ia kemudian
menawarkan gagasan ijtihad jama‘i (ijtihad kolektif). Para anggotanya tidak
hanya dari kalangan ulama, tetapi juga dari berbagai kalangan ilmuwan muslim
lainnya, seperti ekonom, dokter, budayawan, dan politikus yang mempunyai visi
dan wawasan yang tajam terhadap permasalahan umat Islam. Melalui ijtihad
kolektif ini, diharapkan umat Islam Indonesia dapat merumuskan sendiri fiqh
yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Rumusan fiqh tersebut
tidak harus terikat pada salah satu mazhab, tetapi penggabungan beberapa
pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Menurutnya, hukum yang baik
adalah yang mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya,
adat-istiadat, dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan. Hasbi
ash-Shiddieqy bahkan menegaskan bahwa dalam sejarahnya, banyak kitab fiqh yang
ditulis ulama yang mengacu pada adat-istiadat (‘urf) suatu daerah. Sebagai
contoh, pendapat Imam asy-Syafii yang berubah seiring dengan perpindahannya
dari Irak ke Mesir. Ketika masih di Irak, ia memiliki beberapa pendapat yang
sesuai dengan kondisi sosio-kultural Irak saat itu, yang kemudian dikenal
dengan sebutan qaul qadim (pendapat lama). Ketika ia pindah ke Mesir dengan
kondisi sosio-kultural yang baru, ia mengubah beberapa pendapatnya yang pernah
ia pegang selama di Irak, sehingga muncul pendapat baru, yang kemudian disebut
dengan qaul jadid (pendapat baru). Dengan demikian, ijtihad harus terus
dikembangkan, tidak boleh ditutup.
2.
PROF. MR DR
Hazairin
a.
Riwayat Prof.
MR DR Hazairin
Hazairin
merupakan seorang ahli hukum Islam sekaligus hukum adat pertama dari kalangan
putra Indonesia, ia termasuk salah seorang nasionalis dan intelektual muslim
Indonesia yang berpendidikan Barat (Belanda). Nama lengkap Hazairin adalah
Prof. Dr. Hazairin Gelar Pangeran Alamsyah Harahap, SH.14 Gelar kehormatan
akademik adalah “Profesor” diberikan oleh Senat Guru Besar Universitas
Indonesia atas prestasinya di kedua bidang hukum yakni hukum Islam dan hukum
Adat, dengan keahlian Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, penganugerahan Profesor diberikan padanya tahun 1952.15
sedangkan gelar “Gelar Pangeran Alamsyah Harahap” diberikan atas jasanya yang
peduli terhadap adat istiadat Tapanuli Selatan, ketika ia ditugaskan pemerintah
Hindia Belanda di Pengadilan Negeri Padangsidempuan dengan tugas tambahan
sebagai peneliti hukum adat disana.16 Bukti lain dari keperdulian terhadap adat
istiadat Tapanuli Selatan ini dituangkan dalam karyanya seperti: De Redjang (disertasi
doktornya, 1936), De Gevolgen van de Huwelijksontbiding in Zuid Tapanuli (Akibat
Perceraian Perkawinan di Tapanuli Selatan, 1941), dan Reorganisatie van het
Rechtswesen in Zuid Tapanulis (Reorganisasi Hukum di Tapanuli Selatan).
Hazairin di lahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tangggal 28 Nopember
1906.
Hazairin
berketurunan atau berdarah Persia. Ayahnya bernama Zakaria Bahar, seorang guru,
berasal dari Bengkulu. Kakeknya bernama Ahmad Bakar, seorang mubaligh terkenal
pada zamannya. Ibunya berasal dari Minangkabau, etnis yang terkenal taat pada
ajaran agama Islam. Itulah sebabnya sejak kecil Hazairin tumbuh dalam
lingkungan yang penuh dengan bimbingan keagamaan, terutama dari kakeknya
sendiri. Pendidikan agama inilah yang membentuk sikap keagamaanya yang demikian
kuat pemikirannya meskipun secara formal ia banyak menuntut ilmu di lembaga
pendidikan Hindia Belanda.18
Pendidikan formal Hazairin, pertama di HIS
(Hollands Inlandsche School) di Bengkuu dan tamat pada 1920; lalu melanjutkan
pendidikan di MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Padang dan tamat pada
1924; kemudian meneruskan ke AMS (Algemene Middlebare School) di Bandung dan
tamat pada 1927; berikutnya di RHS (Rechtkundige Hoogeschool/Sekolah Tinggi
Hukum ), jurusan hukum adat di Batavia (kini, Jakarta) hingga mendapat gelar
Mr. (Meester in de Rechten) pada tahun 1935. setahhun kemudian ia memperoleh
gelar doktor dengan disertasi berjudul De Redjang (mengenai adat
istiadat Rejang di Bengkulu).19 Di samping belajar pendidikan umum, Hazairin
juga belajar pendidikan agama dan bahasa Arab, terutama dari kakeknya. Untuk
memahami lebih lanjut ajaran agama Islam ia belajar sendiri. Ia menguasai
bahasa Belanda, Inggeris, dan Perancis secara aktif. Ia juga menguasai bahasa
Arab, Jerman, dan Latin secara pasif.20 Karier Hazairin di Indonesia telah ia
tekuni dalam beberapa bidang profesi, misalanya bidang pendidikan, bidang
birokrasi dan bidang politik, hal ini mencerminkan kesibukan seseorang yang
mengabdi pada kemajuan bangsa Indonesia.
Hazairin termasuk penulis yang produktif,
setidaknya mewariskan tujuh belas (17) karya. Di antara karya Hazairin adalah
dalam bidang hukum seperti: De Redjang (disertasi doktornya, 1936), De
Gevolgen van de Huwelijksontbiding in Zuid Tapanuli (Akibat
Perceraian Perkawinan di Tapanuli Selatan, 1941), dan Reorganisatie van het
Rechtswesen in Zuid Tapanulis (Reorganisasi Hukum di Tapanuli
Selatan). Dalam hukum Islam dan hukum adat, yaitu: Pergolakan Penyesuaian
Adat kepada Hukum Islam (1952), Hukum Kekeluargaa Nasional 1962), Hukum
Kewarisan Bilateral menurut Al Qur’an dan Hadits (1958), Hendak
Ke Mana Hukum Islam (1960), Hadits Kewarisan dan Sistem Bilateral,
Indonesia Satu Masjid, dan Perdebatan dalam Seminar Hukum Nasional
tentang Faraidl. Gagasan dalam bidang hukum pidana Islam dan keinginan
untuk berlakunya hukum pidana Islam di Indonesia, dapat di lihat pada: Hukum
Pidana Islam Ditinjau dari Segi-segi, Dasar-dasar, dan Asas-asas Tata Hukum
Nasional, Demokrasi Pancasila (1970), Negara Tanpa Penjara.25 Buku
yang diterbitkan seperti: Tujuh Serangaki tentang Hukum (1973),
merupakan kumpulan tulisannya, yaitu: Negara Tanpa Penjara, Sekelumit
Persangkut Pautan Hukum Adat, Fungsi dan Tujuan Pembinaan Hukum dalam Negara RI
yang Demokrasi dan Berdasarkan Hukum, Muhammad dan Hukum, Kesusilan dan Hukum,
Hukum Baru di Indonesia, dan Ilmu Pengetahuan Islam dan Masyarakat. Karya
yang terakhir adalah Tinjauan mengenai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.26
b.
Pemikiran
Hazairin
Hazairin
seorang pemikir yang dikenal dalam bidang hukum Islam dan hukum Adat telah
mengeluarkan pemikirannya tentang pelaksanan hukum Islam dan hukum Adat yang
berlaku di Indonesia, dengan salah satu teorinya yang terkenal yaitu teori “teori
hukum kewarisan bilateral” dalam hukum kewarisan Islam. ia menulis
seperti: “Jika telah kita insafi bahwa Qur’an anti clan, tidak menyukai
sistim matrilineal27
dan patrilineal28,
karena sistim-sistim itu mengadakan syarat exogami29 bagi
perkawinan, maka satu-satunya conclusi yang dapat ditarik ialah bahwa
Qur’an via ayat 24 An-Nisa’ itu menghendaki sebagai keredaan Tuhan suatu bentuk
masyarakat yang bilateral dimana orang tidak dapat lagi mengadakan syarat
exogami.
Dalam
hubungan ini maka tidak sesuai lagi bunyinya, manakala Ahlusunnah Wal Jamaa’ah
membedakan usbah dan yang bukan ‘usbah, umpamanya dalam lapangan kewarisan
membedakan antara ‘asabat dengan pecahannya binafsihi30,
bi’ghairi31 dan ma’a ghairi32 di satu pihak dan
dzawu’larham di lain pihak, dalam menyalurkan sistim kewarisan menurut Qur’an,
yaitu kewarisan yang berpatok kepada fara’id dalam suatu sistim model bilateral
dan bukan model patrilineal. Dzawu’larham menurut Ahlussunnah Wal-Jama’ah mungkin
mengenai seorang perempuan dalam usbahnya di pewaris, tetapi umumnya mengenai
orang-orang dari lain-lain ‘usbah yaitu ‘usbah pihak suami anak perempuannya
atau ‘usbah pihak ayah dari ibunya, pihak-pihak mana dapat kita bandingkan
dengan pihak anak boru dan pihak mora bagi orang Batak ditinjau
dari kedudukan suatu kahanggi. ‘Usbah dan ‘asbat dalam semua perinciannya
adalah bentuk-bentuk kekeluargaan patrilineal yang berlawanan dengan bentuk
bilateral.”33 Hazairin berpendapat bahwa pada hakikatnya sistem kewarisan yang terkandung
dalam Al-Qur’an adalah sistem kewarisan yang bercorak bilateral (orangtua34),
seperti dzul fara’idh,35 dzul qarabat,36 dan mawali37.38 Berlainan
dengan rumusan ahli fikih khusunya Madzhab Syafi’i dan Syi’ah yang menjelaskan
bahwa sistem kewarisannya bersifat patrilinial yaitu dzul fara’id, ashabah39 dan
dzul arham.
Tiga
landasan teologis normatif yang dijadikan Hazairin yaitu bahwa sistem
kekeluargaan yang diinginkan al-Qur’ân adalah sistem bilateral, antara lain: Pertama,
apabila surat an-Nisâ ayat 23 dan 24 diperhatikan, akan ditemukan adanya
keizinan untuk saling kawin antara orang-orang yang bersaudara sepupu. Fakta
ini menunjukkan bahwa al-Qur’ân cenderung kepada sistem kekeluargaan yang
bilateral. Kedua, surat an-Nisâ’ ayat 11 yang menjelaskan bahwa semua
anak baik laki-laki maupun perempuan menjadi ahli waris bagi orang tuanya. Ini
merupakan sistem bilateral, karena dalam sistem patrilineal pada prinsipnya
hanya anak lakilaki yang berhak mewarisi begitu juga pada sistem matrilineal,
hanya anak perempuan yang berhak. Ketiga, surat an-Nisâ’ ayat 12 dan 176
menjadikan saudara bagi semua jenis saudara (seayah dan seibu) sebagai ahli
waris.
0 komentar:
Posting Komentar